POV Arga
“Damian?”
Seakan sebuah ancaman baru bagiku. Aku mencoba memutar kembali memori, namun sia-sia. Nama itu begitu asing, baru kali ini aku mendengar nama Damian. Semenjak pacaran hingga menikah tak pernah kudapati sebuah nama itu terucap dari bibir Anna.
Aku duduk di tepian jalan setapak di tengah taman dengan membiarkan kedua kakiku menjulur. Mengawasi Raffa yang dengan riangnya bermain sepak bola dengan teman-teman sebayanya, sedangkan Audrey masih sibuk dengan teriakan-teriakan histerisnya untuk menyemangati kakak satu-satunya yang ia miliki. Percayalah, bahkan teriakan-teriakannya mampu mengalahkan teriakan-teriakan grup pemandu sorak. Suaranya yang melengking memekakkan telinga orang di sampingnya, aku hanya tersenyum, hal itu sudah biasa bagi kami.
Teriakan-teriakan Audrey tak mampu membuyarkan ingatanku tentang Damian, pikiranku seakan terkuras karena nama asing itu. Entah itu siapa dan apa hubungannya dengan Anna. Rasanya begitu sakit saat nama itu keluar dari mulut Anna.
Sejenak aku terdiam, dan menghela napas panjang. Aku kembali menatap anak-anakku. Sudah lama aku tak lagi mendampingi anak-anak. Semenjak mengenal Diana, duniaku hanya pekerjaan dan Diana. Aku jarang memperdulikan keluargaku, bagiku Anna sudah cukup bisa menghandle segalanya, termasuk mengurus anak-anak. Sementara aku sibuk membahagiakan diriku sendiri, tanpa memperdulikan mereka. Kini aku menyesal, betapa egoisnya aku.
Aku berharap akan hidup bahagia selamanya bersama mereka. Namun, sepertinya itu mustahil sekarang Ini. Karena hal itu tidak akan pernah terjadi dalam hidupku, setelah ku gores luka yang begitu dalam kepada mereka.
Namun, selama nafas ini berhembus ku ikrarkan bahwa aku akan berusaha untuk membuat dua malaikat kecilku itu bahagia. Aku tak mampu melihat tawa renyah mereka sirna. Dan demi Tuhan akan kulakukan apapun untuk menjaga tawa itu tetap terhias pada wajah-wajah tak berdosa dan polos itu.
Aku mulai mengitarkan pandanganku menuju ke seluruh penjuru taman. Entahlah, hanya perasaanku saja atau apa. Tapi, aku merasa ada sosok yang sedang mengawasiku saat ini. Ku kembalikan pandanganku kepada Raffa dan Audrey, memastikan mereka baik-baik saja.
Segera ku beranjak menghampiri keduanya karena kekhawatiran memenuhi seluruh pikiranku saat ini. Audrey yang menyadari kehadiranku, langsung menghambur ke pelukanku dengan manjanya.
"Papah, ayo pulang. Adek sudah lapar, Mamah pasti sudah masak enak di rumah." Audrey bergelayut manja, dan Raffa berlari ikut memelukku.
"Hari ini mamah tidak masak, Mamah ada urusan. Bagaimana kalau hari ini Papah ajak makan di luar? Atau... Bagaimana kalau kita makan di situ?" tunjukku pada sebuah food truck yang tengah parkir tak jauh dari taman, di sana terdapa bangku kayu tua yang panjang, tempatnya cukup sejuk dan nyaman.