Api. Itulah yang selalu ia rasakan. Bukan sekedar panas, tapi sebuah kobaran amarah dan rasa sakit yang membakar dari dalam dadanya, menyulut setiap urat nadinya hingga tangannya gemetar tak terkendali. Ia memejamkan matanya rapat-berusaha meredam gejolak itu, mengurung sang monster yang ingin menerkam. Napasnya terasa berat, tertahan dikerongkongan yang tercekat.
Setiap kali ucapan itu meluncur --- entah dari orang terdekatnya yang penuh kekecewaan, atau seorang bibi yang tak mengerti --- waktu baginya terpelanting ke masa lalu. Dunia sekelilingnya mengabur, digantikan oleh memori yang jelas dan menyakitkan bagai luka yang tak kunjung sembuh.
Ia kembali menjadi anak kecil yang bersembunyi di balik pintu menyaksikan adegan yang tak seharusnya ia lihat. Ibunya.
Tertunduk lemah di lantai, punggungnya membungkuk menahan beban yang tak terlihat. Suara tangisnya bukan ratapan keras, melainkan lirihan putus asa yang lebih menyiksa. Helai demi helai rambutnya yang hitam berurai seperti tirai yang menyembunyikan wajahnya yang basah oleh air mata. Tubuhnya berayun pelan, masih menggendong erat seorang balita --- adik Keysha ---yang tak mengerti apa-apa selain mencari kenyamanan dalam pelukan yang sama-sama rapuh.