Pulang dari sekolah, rumah terasa lebih sunyi dari biasanya. Ibu Keysha meletakkan tasnya di atas meja dengan gerakan lamban, seperti orang yang kehilangan tenaga. Ia mengganti pakaian rapi yang dikenakannya bertemu guru dengan baju sehari-hari yang lusuh. Hanya tangisan adik balita yang memecah kesunyian itu, sebuah suara yang sudah terlalu akrab di telinganya.
Saat keysha membuka pintu, suasana langsung berubah. Udara di ruangan itu menjadi padat, sesak. Ibu sudah berdiri menunggu, dan tatapannya bukan lagi tatapan seorang ibu yang merindukan anaknya pulang. Itu adalah tatapan penuh racun, sinis, dan yang paling menyakitkan --- kekecewaan yang membeku.
"Habis dari mana?" suara ibu memotong, tajam dan datar. Sebuah nada yang lebih mengerikan daripada teriakan.
Keysha membeku. "sekolah bu." jawabnya, berusaha tenang sambil menaruh tasnya.
"Sekolah?" ibu mendekat, langkahnya pelan tapi penuh ancaman. "kamu yakin?"
"Iya bu." Keysha menunduk, tak sanggup menahan tatapan itu lebih lama.
"Jangan BOHONG!" bentak ibu tiba-tiba, suaranya meninggi dan memecah ilusi. "Ibu baru saja dari sekolahmu! Kata pak guru, kamu bolos!"
Keysha terdiam. Dunia di sekelilingnya seperti retak. Ia hanya menatap lantai, mencari pola ubin yang bisa menyembunyikannya. Rasa takutnya yang paling dalam telah menjadi kenyataan.
"Mau jadi apa kamu, hah? Ngikutin siapa kamu? Ibu nggak pernah ngajarin kamu untuk jadi pembohong!" setiap kata seperti cambuk yang menyayat.
Dalam diam, pikiran Keysha berteriak. iya ibu tidak mengajarkanku, tapi keadaanlah yang mengajariku. Keadaan yang ibu dan ayah ciptakan. Aku belajar berbohong untuk bertahan. Tapi semua itu hanya bergemuruh dalam kepalanya, tak pernah sampai ke mulut.
Lalu, datanglah ancaman yang paling ia takuti.
"nanti ibu bilangin sama ayahmu".
Kalimat itu bukan sekedar ancaman. Itu adalah vonis. Itu adalah gambaran jelas tentang kemarahan, tentang suara yang menggelegar, dan tentang ikat pinggang yang akan mendarat dikulitnya. Jangankan Keysha, ibunya sendiri yang hampir seusia ayahnya sering kali tak berdaya menghadapi amukannya. Apalagi dirinya, seorang anak yang tak punya kuasa apa-apa. Pikirannya sudah melayang ke rasa sakit yang akan datang, dan itu yang membuatnya lumpuh.