Bertahun-tahun berlalu sejak ia pertama kali menjadi kambing hitam. Keysha berharap luka itu sembuh, atau setidaknya, peristiwa mengerikan itu menjadi pelajaran yang mengubah keluarganya. Namun harapan hanya ilusi. Kenyataan justru berbalik arah, mengukir luka yang lebih dalam dan mengoyak sisah-sisa jiwa yang masih bertahan.
Pertengkaran mereka bukan lagi kesedar teriakan. Itu sudah menjadi ritual kekerasan yang menghancurkan segala sesuatu yang disentuhnya, termasuk sisa masa kecil Keysha yang sudah compang-camping.
Sore itu, Keysha pulang dari sekolah dengan langkah gontai. Perjalanan panjangnya diisi oleh satu soundtrack yang terus berputar di kepalanya: kekhawatiran. Setiap langkah kakinya seolah menanyakan pertanyaan yang sama, "akan seperti apa rumah hari ini? Apakah mereka sedang berperang lagi? Aku harus apa kalau adikku ketakutan?" pikirannya adalah medan perang yang tak pernah sepi, jauh sebelum ia sampai di rumah.
Dan kemudian, ia sampai. Dan dunia runtuh.
Pintu terbuka lebar menyambutnya dengan panorama kehancuran. Sebuah asbak berisi puntung berserakan di lantai, karpet sobek, dan udara dipenuhi oleh amarah yang pekat. Di tengah kekacauan itu, adiknya menangis histeris di sudut, sementara ibu terduduk lemah, menjerit kesakitan sambil memegangi lengannya yang memerah terkena lemparan puntung rokok yang masih menyala.
Sesuatu dalam diri Keysha patah. Sebuah dinding yang selama ini menahan semua amarah, semua ketakutan, semua kepedihannya, retak dan kemudian hancur berkeping-keping.
Dia tak lagi bisa berdiam. Jiwa yang selama ini bertahan dengan diam dan lari, kini memberontak.
"SUDAH!!!" teriaknya, suaranya purau dan nyaris tidak dikenali.
Tanpa bisa dikendalikan, tangannya meraih gelas steinles dari ember cucian dan melemparkannya ke lantai. Brakk! suaranya berdentum keras.