Keysha berjalan tanpa peta. Kakinya melangkah mengikuti arus kota, menyusuri trotoar yang ramai dan gang-gang sepi, tanpa tahu ujungnya di mana. Setiap langkah adalah perpisahan, setiap hembus napas adalah pelepasan. Ketika malam tiba dan kota mulai mematikan lampunya, ia mencari pelukan yang selalu terbuka: mesjid.
Sebuah mesjid tua di pusat kota menjadi istananya, rumah singgahnya, satu-satunya tempat yang memberinya rasa aman tanpa syarat. Di balik temboknya yang kokoh, di atas karpetnya yang sudah usang, Keysha merebahkan tubuh yang lelah. Tas kecilnya, yang hanya berisi beberapa helai baju dan sisa-sisa keberanian, menjadi bantalnya. Setiap pagi, ia membersihkan diri di tempat wudhu, air dingin yang menyegarkan menjadi saksi bisu usahanya untuk tetap bertahan.
Kemandiriannya dibayar dengan keringat dan tenaga. Ia membantu teman-teman seperjuangannya yang sesama penghuni kota: membantu mengangkat barang di pasar, membersihkan warung, atau sekadar menjadi tenaga serabutan. Upahnya tak seberapa, kadang hanya sesuap nasi atau beberapa lembar uang lusuh. Tapi bagi Keysha, itu sudah cukup. Itu adalah bukti bahwa ia bisa hidup dari tangannya sendiri.
Namun, di balik topeng ketahanannya, bayang-bayang itu selalu mengintai. Kekhawatiran akan masa depan yang tak jelas, ketakutan akan kegagalan, dan terutama --- hantu dari masa lalu yang tak pernah benar-benar pergi. Ia bebas secara fisik, ya. Bebas dari teriakan dan kekerasan. Tapi jiwanya masih terbelenggu oleh ketakutan yang telah mengakar. Kebebasannya adalah sebuah sangkar tanpa jeruji; ia bisa melihat langit, tetapi tidak bisa benar-benar terbang.
Dunia luar ternyata lebih kejam dari yang ia bayangkan. Ia harus berhadapan dengan tatapan curiga, dengan orang-orang yang ingin memanfaatkan keterpurukannya, dengan pilihan sulit antara mempertahankan prinsip atau mengisi perut. Garis antara benar dan salah, antara hidup dan mati, menjadi samar dan kabur. Seorang anak, yang seharusnya dilindungi, justru terjun langsung ke dalam hutan beton tanpa senjata dan tameng.