Keesokan harinya, Keysha masuk shift pagi dengan perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya: sebuah firasat malapetaka yang begitu kuat hingga terasa seperti benda padat di dadanya. Biasanya, ia meninggalkan ponsel di loker, tetapi hari ini, ia melanggar aturan. Ia menyelipkannya di saku celananya, getarannya yang senyap seolah bisa menjadi detak jantung kedua yang memberitahu nasib.
Kerjanya kacau. Konsentrasinya buyar oleh bayangan ayah tirinya yang terbaring dan ancaman tak berbentuk yang mengintai. Setiap detik terasa panjang dan menyiksa.
"Key!" tegur seorang rekan, menyentak pikirannya yang melayang. "Jangan ngelamun kalo lagi kerja. Bahaya nanti."
"eh... iya, maaf. Lagi kurang enak badan," jawab Keysha dengan senyum palsu yang langsung pudar.
Lalu, tepat saat ia membungkuk untuk mengambil sebuah komponen, ponsel di sakunya bergetar. Getaran itu terasa seperti sengatan listrik. Dengan tangan gemetar yang hampir-hampir tidak bisa dikendalikan, ia menyembunyikan diri di balik mesin dan mengusap layarnya.
Sebuah notifikasi dari Bibi.
Dengan napas tertahan, ia membukanya.
[Pesan dari bibi]
innalillahi wa inna ilaihi roji'un, Key... ayah kamu sudah berpulang.
Dunia berhenti berputar. Suara mesin yang berisik tiba-tiba lenyap, digantikan oleh dengung kosong di telinganya. Prasangka buruknya, yang selama ini ia pelankan dengan berbagai alasan, terbukti dengan cara yang paling menghancurkan. Rasanya seperti ditusuk tepat di ulu hati. Seluruh tubuhnya bergetar tak terkendali; lututnya nyaris tertekuk. Ia harus berpegangan pada dinginnya mesin untuk menahan diri tidak terjatuh.
"Key, kamu kenapa? Muka kamu pucet banget," tanya rekan kerjanya, mendekat dengan wajah penuh konsen.
Keysha memaksakan diri untuk menarik napas. Ia harus menyembunyikan ini. Di sini, sekarang, ia bukanlah seorang anak yang berduka, ia adalah seorang pekerja. "E... enggak. Cuma... pengen kencing aja, udah gak kuat," katanya, memaksakan tawa ringkih sambil memegang perutnya, berpura-pura menahan kencing.