Satu minggu. Tujuh hari yang dijalani Keysha dalam keadaan siaga tinggi, seolah menunggu bom waktu yang akan meledak. Dan akhirnya, kabar itu datang. Bukan melalui pesan singkat, tapi melalui telepon yang berdering pilu dari bibinya. Suara di seberang sana bergetar, menyampaikan kabar yang sudah ia takuti: kondisi ibunya menurun drastis. Ia tak bisa lagi bangun dari tempat tidur.
Tanpa pikir panjang, Keysha bergegas. Ia meminjam uang untuk ongkos dari teman-temannya, dan dengan rasa haru, seorang sahabat memberinya lebih dari yang diminta. Uang itu terasa panas di tangannya, sebuah pengingat akan betapa rapuhnya hidupnya.
Perjalanan ke rumah nenek terasa seperti perjalanan menuju sebuah pengadilan. Dan ketika ia sampai, vonis itu tertulis jelas di atas tempat tidur.
Ibunya terbaring lemas. Bukan sekadar kurus, tapi seperti tengkorak yang dibalut kulit tipis. Setiap tulangnya menonjol dengan kejam. Rambutnya yang dulu hitam lebat kini rontok dan menipis, memperlihatkan kulit kepala yang pucat. Nafasnya tersengal, pendek, dan berisik. Ia seperti sebuah bayangan dari dirinya sendiri, sebuah nyala lilin yang tinggal menunggu hembusan angin untuk padam.
"Bu..." Keysha berbisik, suaranya serak, hampir tidak percaya. "Kenapa... kenapa bisa jadi begini?"
"Nggak... tau, Key..." jawab ibu, suaranya lirih bagai desisan angin malam. "udah... beberapa hari... cuma bisa... tiduran. Kalo mau... ke air... suka di bantu... nenek atau bibi..."
Keysha hanya bisa terdiam. Hancur. Pikirannya berkecamuk, menolak realitas mengerikan yang terpampang di hadapannya.
Lalu, ibu membuka matanya, memandang Keysha dengan sisa-sisa kesadaran yang ia punya. Tangannya yang dingin dan keriput meraih tangan Keysha, mencengkeramnya lemah. "Ibu... mau cerita, Key..."
"Cerita apa bu? Ada apa?" Keysha mendekatkan telinganya, menangkap setiap kata seperti sebuah pengakuan terakhir.