Pintu rumah terbuka luas, hembusan angin membuatnya terbangun. Jendela di penuhi embun sisa semalam hingga sinar mentari tertahan oleh kaca. Najar tak menyadari bahwa semalam ia tak mengunci pintu, pintu itu mungkin terbuka lebar sedari malam. Rumah itu hanya di tinggali oleh Najar seorang diri dan sekarang datang Juraji Nafis menjadikan rumah itu terasa hidup.
Perabotan rumah yang tergeletak dimana-mana tak beraturan membuat suasana rumah terlihat kumuh. Segala sampah bekas makanan dan botol kaleng yang tak kunjung ia bersihkan. Debu-debu yang masuk dari luar rumah hingga disela-sela barang rumah menempel. Bukan dia tak mau membereskan atau merapihkan berhubung waktu yang padat membuat ia tak sempat. Bagaimana tidak, dia terlalu sibuk untuk bekerja dan kuliah, menjadikan waktu yang dia miliki terkuras abis. Letak rumah yang dekat dari jalan raya, membuat kendaraan berlalu-lalang keluar--masuk. Hanya berapa meter dari Jl. Jamika.
Najar pun keluar dari kamarnya lalu menutup pintu rumah dan duduk di kursi yang sudah pada bolong. Enggan dia ganti karena sudah menjadi kursi kesayangan. Dia hanya duduk menatap sekitaran rumah, sampah yang berserakan menjadikan dia pusing sendiri harus memulai membereskan dari mana. Sekarang hari Jumat, dia baru ingat harus ke kampus, karena ada mata kuliah untuk hari itu. Memang dia mengambil kelas karyawan yang kuliahnya seminggu dua kali, hanya Jumat dan Sabtu. Ada dua pilihan untuk kelas karyawan di kampus itu, salah-sutunya kelas karyawan siang yang di ambil Najar Wiki dan kelas karyawan malam, yang kuliahnya dalam seminggu empat hari seperti kelas reguler hanya perbedaan siang dan malam.
Waktu sudah jam tujuh pagi, menandakan dia harus bersiap untuk menjalankan aktivitas pagi ini. Tak berpikir panjang dengan sigap dia ke kamar mandi. Selesai mandi dan sudah rapih dengan baju kemeja putih bergaris cokelat tipis dan celana jeans dia kenakan, dengan jas almamater pengenal jati diri kampusnya, ia masukan dalam tas dengan polet hijau botol dan berlogo harimau, dia rawat dengan baik. Sengaja dia masukan ke dalam tas agar pas dipakai di kampus rapih. Segera dia pamit untuk pergi, kepada Juraji yang masih setia memeluk bantal di kamarnya.
“Ji Kakak berangkat ke kampus dulu, kamu cepat bangun!” kata Najar dengan membereskan selimut yang tergeletak jauh dari tempat tidur.
Juraji hanya menjawab, “Iya, hati-hati,” Juraji masih dalam mata merem sedikit berbalik badan lalu menarik selimutnya lagi.
“Ya sudah, bila kamu masih ngantuk. Kalau kamu ingin sarapan beli saja! Kakak gak keburu masak, karena gasnya abis. Kakak simpan uangnya di sini, ya!” kata Najar. Menaruh uang lembaran sepuluh ribuan lima lembar di atas lemari tempat bajunya di simpan. Dengan kaca lebar membuat sekali menatap dia ingin terus menyisir rambutnya yang sudah mau panjang, melebihi telinganya.
“Kakak berangkat.” Lalu Najar bergegas pergi dan menutup rapat-rapat pintu kamar dan pintu rumah. Dia berangkat dengan motor vespa kesayangannya.
Jam terus berputar. Waktu pun berubah, sinarnya mulai memanas sekitaran jam sembilan lebih, baru Juraji terbangun. Ketika dia terbangun lalu beranjak berdiri dan menatap jam mulai mengingat pesan dari kakaknya.
‘Sudah jam sembilan ternyata.’ kata dia dalam hati dengan mengosok mata dengan tangannya. Dia cuci muka ke kamar mandi agar tak tertidur lagi, kalau hanya diam di kasur kebiasaan dia ketika sudah bangun tidur, tapai tidak cuci muka pasti akan tidur lagi. Semua orang juga merasakan hal yang sama ketika di posisi itu, ketika kemalasan meraja pasti siapa saja aka takluk dibuatnnya. Selesai dia dari kamar mandi pandangannya lebih membaik, setelah keluar dari kamar mandi lantas matanya melirik sekitaran rumah. Banyak sampah plastik bekas makanan dan minuman yang tergeletak di mana saja, cucian kotor pun sama belum di bereskan. Juraji hanya menggeleng-gelengkan kepalanya atas kejadian yang dia lihat. Perutnya mulai lapar, dia baru ingat bahwa tadi diberi uang oleh kakaknya untuk membeli sarapan. Juraji berjalan masuk kamar, sampah yang berserakan pun terinjak. Dalam pikirnya. ‘Nanti setelah sarapan akan aku bereskan.’ segera dia mengambil uang sembari membereskan selimut dan bantal yang ada di atas kasur. Selesai memberekan dia keluar rumah.
Pancaran sinar mentari menyilaukan matanya sekelebat penglihatan memudar, menandakan mentari sudah tak bersahabat dan memilih untuk bertahta di puncak kepala melanjutkan perjalanannya sampai ke peraduan. Juraji berjalan menuju mulut gang. Beberapa meter berjalan ia menatap rumah-rumah yang menjulang tinggi tapi terlihat pada sepi seakan penghuninya tidak ada terbesit dalam pikiran Juraji, mungki yang tinggal di rumah itu pada kerja atau banyak beraktifitas di luar rumah. Akhirnya yang dia cari ada di sebrang gang, warung sunda di pinggiran jalan. Sebenarnya tak perlu menyebrang untuk dia membeli nasi, di pinggiran jalan sebelah gang rumah dia ada warung nasi. Tapi warung nasi itu belum buka, apa boleh buat terpaksa dia harus menyebrang jalan mencari warung lain. Kendaraan roda dua dan roda empat berlalu-lalang setiap detiknya berbeda-beda. Tak ada pejalan kaki yang berlalu-lalang di sana. Terlihat bangunan toko yang menjulang tinggi. Dengan estalase pakayan, onerdil mobil, tempat jual beli handpone dan atm terdekat, tak sedikit pula bengkel yang ada di sepanjang jalan itu.
Kendaran yang melintas terlalu banyak menjadikan Juraji kesulitan untuk menyebrang. Memang dia tak biasa hidup di dekat jalan raya yang dipenuhi kendaran. Kehidupan yang dia kenal adalah lingkungan desa yang keseharian di tempat Juraji sebelumnya mayoritas para petani. Tak sedikit juga para pedagang di pasar. Butuh penyesuaian ketika dia beralih lingkungan, karena dia akan menetap di rumah kakaknya, dia harus bisa merubah kebiasaannya itu. Selang beberapa menit ada orang yang memperhatikan dia menyebrang tapi takut. Sudah sedari tadi Bapak itu melihat dia duduk di terotoar menunggu jemputan pun ia menghampiri Juraji.
“Kamu mau nyebrang De? Bapak perhatikan dari tadi…” kata Bapak itu melihat ke arah Juraji mulai menyebrang dari arah depan jalan.
“Iya, Pak. Saya gak bisa nyebrang terlalu banya kendaraan yang melintas. Ya, saya tunggu sampai jalanan ini sepi,” kata Juraji muka polos.
“Ade, kalau jalanan sini, tak akan pernah sepi meskipun Ade diam berjam-jam di sini, kamu mau nyebrang ayo, Bapak antarkan,” kata Bapak itu tersenyum. Juraji tak membiarkan kesempatan baik Bapak itu dia tolak dan dia mengiyakan ajakannya.
“Iya Pak, saya mau beli nasi untuk sarapan,” kata Juraji menatap bapak itu. Perasaan ingin menolong bapak itu mengantarkan Juraji ke sebrang jalan. Dengan perlahan memberhentikan kendaraan yang melintas. Kepakan tangan Bapak itu sanggup menahan supaya kendaraannya perlahan terhenti, mereka pun bisa menyebrang ke sebrang jalan. Ketika sampai di sebrang Bapak itu berkata.
“Kamu butuh bantuan Bapak lagi gak De?”
“Sebenarnya aku mau beli nasi ini saja, sesudah itu kembali pulang lagi.,” kata Juraji menunjuk warung nasi di depannya. Warung yang hanya beratapkan terpal biru, bisa dibuka dan ditutup mungkin ketika dagangannya habis langsung membereskan kembali tendanya, karena terlihat ketika sudah siang jalanan ini adalah jona merah, yang tidak boleh untuk di jadikan tempat jualan.
“Baik, sekarang kamu beli dulu, makanannya Bapak tunggu di sini,” kata Bapak itu murah hati.
“Terima kasih Pak.” Juraji segera membeli nasi untuk sarapan.
Beberapa menit kemudian dia selesai membeli nasi, untungnya nasi yang dibeli adalah nasi terakhir yang di jual Ibu itu, mungkin sudah terlalu siang, menunya pun sudah pada abis.
Dalam hati Juraji ‘Warung pertama belum buka, warung ke dua sudah mau habis, untung masih kebagian, coba saja kalu keabisan lagi kaya di pinggir jalan tadi aku harus cari lagi warung nasi.’ Pikiran dalam hatinya condong mengkait-kaitkan kepada hal yang lain.
“Sudah pak,” kata Juraji membawa jinjingan keresek di sebelah tangan kanannya.
“Baik, kita nyebrang lagi!” kata Bapak itu melihat kiri dan kanan. Dari arah Jalan Peta dan Jalan Jendral Sudirman.
“Sebentar, Bapak sudah makan? Biar sekalian aku belikan?” kata Juraji bertannya.
Bapak itu menolak tawaran dari baik Juraji. “Tidak. Makasih niat baik kamu De. Tapi Bapak sudah makan. Perut Bapak sudah kenyang,”
“Baiklah Pak, yuk kita nyebrang, Pak.” Ucap Juraji.
“Ayo!”