Sunyinya malam membuat angin bebas merasuki ruang-ruang waktu. Tak mengenal ruang sempit, sela-sela pintu pun bisa masuk. Tak sedikit yamuk-nyamuk malam pada gemuk. Orang-orang yang tertidur tidak menyadari akan hal itu. Baru setelah dia bangun di keesokan harinya penuh dengan bentol memerah pada kulit. Pada bagian tubuh yang tidak tertutupi selimut. Apa lagi kriteria golongan darah kesukaan nyamuk.
Jam memutar tiada henti. Waktu mulai subuh terasa lebih dingin. Kemalasan mulai mengapai dari remang malam. Membuat siapapun yang mencoba bangun, terganggu oleh rasa kemalasan. Juraji mencoba melawan akan hal itu, sebab baginya bangun lebih pagi dari sebelum ayam jantan berkokok itu lebih baik. Orang bilang rezekinya tidak akan di patok ayam. Dia terbangun baru beberapa detik kemudian ayam jantan ikut berbunyi dari dalam ponsel. Karena di tempat ia sekarang tidak ada yang memelihara ayam atau berternak, hanya nada dering alaram ponsel yang berbunyi. Sengaja Juraji menghidupkannya. Sebenarnya bukan seperti demikian, memang benar masyarakat di tempat orang tua Juraji mempercayai mitos itu. Jadi disana orang-orang berlomba-lomba bangun lebih pagi. Hingga solat subuh juga di masjid terisi penuh. Kebetulan mayoritas di sana para petani, yang harus bangun awal karena ladang-ladang mereka jauh.
Juraji mencoba membangunkan kakaknya yang masih tertidur pulas. Setelah beberapa kali sudah di bangunkan tapi tak kunjung bangun, hanya kata “Iya.” Najar menjawab. Lantas kebaikan seorang adik sudah dilakukan oleh Juraji. Segeralah dia ke kamar mandi untuk ambil air wudu karena sebentar lagi akan memasuki waktu solat subuh. Selang adri kamar mandi Juraji mengambil sejadah dan sarung, lalu dia amparkan di ruang tengah dekat kursi. Dia terdiam duduk menunggu adzan berkumandang. Sembari menatap sekitaran rumah. Setelah menunggu lima menit barulah adzan berkumandang. Menunggu dulu sampai selesai barulah dia menunaikan solat. Dengan khusu Juraji solat, selesai itu dia meminta doa dari hati yang paling dalam. Doa dari mulai mendoakan orang tua, kesehatan, keinginan dan cita-citanya. Ponselnya pun menemani di kala ia selesai solat telah dari tadi dia simpan di pinggir. Lalu membuka ponselnya untuk membaca Al-Quran. Karena sekarang kemudahan membaca Al-Quran dapat di akses melalui ponsel. Kebanyakan dari orang-orang ketika bangun tidur atau sesudah solat hanya langsung buka chat. Kalau Juraji tidak, dia lebih mendahulukan kewajiban.
Beberapa jam Juraji mengisi waktunya untuk membaca Al-Quran. Sampai matahari muncul di atas genteng. Hingga Juraji selesai membaca Al-Quran satu Juz. Sementara kakaknya baru terbangun. Tidak ada kata sedikit pun Najar berjalan menuju kamar mandi. Selesai itu Juraji langsung membuka reregan gordeng penutup rumahnya, terlihat pagi menyapa. Mungkin hari ini akan lebih cerah dibandingkan hari kemarin. Najar keluar dari kamar mandi.
“Ju, anter Kakak beli gas elpiji buat nanti masak, dari kemarin lupa belum beli.” Najar mendekat.
“Sekarang apa nanti? Emang Kakak gak kuliah?” tanya Juraji.
“Sekaranglah, sekalian kita jalan-jalan sekitaran tempat ini. Lagian Kakak kuliahnya nanti siang jam satu.”
“Baik.”
“Kakak siap-siap dulu.”
“Aku, tunggu di sini atau di luar?”
“Terserah kamu, sekalian bawa helm.”
“Memangnya pake motor?” tanya Juraji penasaran.
“Iya lumayan jauh. Kalau yang dekat gasnya pada kosong, paling besok baru ada. Kita cari di tempat yang lain saja.”
Juraji pun mengambil helm yang ada di atas rak dekat televisi. Sesudah itu pergi menunggu di luar. Selang beberapa menit baru Najar menyusul keluar dengan menuntun motornya dari dalam rumah. Dan gasnya sudah berada di atas motor. Warna motor dengan gas hampirlah sama yaitu hijau toska, hanya saja warna gas lebih dominan lecet, mungkin sering terkena benturan. Tapi kalau motornya Najar bening mengkilap tidak ada goresan sedikitpun. Karena perawatnya saja penuh dengan rasa cinta dan sayang. Setelah Najar menuntun motor itu keluar barulah di depan gang dia mengangkat motornya setandar dua. Karena harus diengkol dulu, baru motor itu menyala. Memang motor tua berbeda dengan motor sekarang, kalu motor sekarang lebih peraktis. Bisa saja dia memperbaiki staternya tapi menurut dia motor jadul baguslah seperti itu. Dia biarkan diengkol tak perlu pakai setater.
“Bentar, panaskan dulu motornya,”
“Memang harus, tak bisa langsung di pake,” kata Juraji tak kesabaran.
“Biar mesinnya tidak soak,” kata Najar. Tapi penjelasaan Najar masih kurang terhadap Juraji.
“Maksudnya soak?” Juraji kembali bertanya.
“Gak mati di jalan,”
“Oh, seperti itu. Aku belum tahu, sangka aku langsung pake-pake aja,”
“Tidaklah.”
Selesai Najar menyalakan motornya. Lalu mereka berangkat menuju mulut gang. Sesudah keluar dari mulut gang menuju arah kiri. Sampai di perempatan belok kiri lagi. Berjajar di sepanjang toko percetakan dari mulai baligo, buku yasin, surat undangan, menghiasi sepanjang jalan. Tak sedikit toko-toko itu membuat promo besar-besaran untuk menarik perhatian para pembeli. Motornya berjalan perlahan, karena harus mencari toko yang menjual gas. Bebeberapa menit kemudian sudah banyak toko yang Najar dan Juraji kunjungin tapi gas yang mereka cari sudah pada habis. Mereka pun melanjutkan mencari lagi sampai gas itu dapat. Setelah jauh mencari dari toko yang terakhir disinggahi akhirnya mereka menemukannya. Tapi sedikit lebih mahal dari harga pasaran. Tapi tak apa, menurut mereka dari pada tak ada sama sekali beruntung mereka mendapatkannya.
Membeli gas sudah sekarang tinggal jalan-jalan santai. Najar malah mengajak Juraji main di alun-alun Bandung. Mereka pun memarkirkan motornya masuk ke dalam ruang bawah tanah. Ruang bawah tanah itu juga tidak hanya dipakai untuk parkir akan tetapi di setiap sudutnya dipenuhi kantin yang berjajar. Dari mulai jualan bakso hingga soto ada di sana. Pedagang di sana tertata rapi. Di depan alun-alun terdapat lapangan yang sangat luas di penuhi rumput sentetis menghampar sampai ke sela-sela taman. Ramai di penuhi pengunjung. Tidak sedikit dari mereka berlalu-lalang ada yang mengabadikan melalui ponsel kamera dan ada beberapa dari mereka yang sedang asik mengobrol.
“Ji ke sana, yu!” kata Najar menunjuk sebuah tempat duduk. Di bawah pohon yang rindang pinggiran terotoar dekat jalan.
“Ayo.” Juraji hanya mengikuti kemana kakaknya mau.
Mereka bergegas menuju tempat duduk itu. “Ternyata nyaman juga, Kak.”
“Iya, adem lagi gak terkena panas,” ucap Najar. Memanglah matahari sangat bersahabat. Melebihi semangatnya. Mereka duduk sembari memperhatikan sekeliling tempat itu.
Juraji terpaku melihat orang-orang yang sedang berpoto, banyak dari mereka yang mungkin dari luar kota. Terlihat seperti baru melihat tempat ini. Banyak juga dari turis asing yang berlalu-lalang di tempat ini. Sesudah mereka duduk lama. Entah apa lagi yang akan mereka lakukan. Matahari mulai meninggi. Ternyata pagi mulai berubah. Najar pun mengajak Juraji untuk pulang.
“Sudah lama kita disini, kita pulang saja?” kata Najar.
“Aku ikut saja,” Juraji tersenyum. Biarpun tak lama tapi dia sedikit bahagia. Baru pertama dia melihat keindahan alun-alun. Mungkin di lain waktu dia bisa lebih lama berdiam di tempat itu. Mereka pun bergegas masuk ke parkiran. Lalu pulang ke rumah. Sesampai dirumah dalam beberapa menit, jarak dari alun-alun ke rumah tidaklah lama hanya sepuluh menit, jalanan yang lurus. Juraji mencoba menghapalkan jalan. Walau sudah mencoba tapi dia masih bingung. “Ka, dekat tadi dari alun-alun. Tapi aku masih bingung jalannya ke arah mana,” sedikit kata Juraji.
“Nanti lama-lama juga kamu akan tahu,” balasan Najar.
“Terus aku masuk sekolah kapan, Kak?” Juraji mengingatkan Najar.
“Nanti, kan kamu masih libur. Sekarang barulah bulan Maret. Paling nanti Agustus. Pendaftaran sekolah dibuka.”
“Iya, tapi …” kata yang terputus.
“Tapi apa?”
“Aku ingin tahu aja,” lanjutan Juraji. Mereka masih di luar ketika perbincangan. Motor terparkir di gang, mereka duduk sejenak di sofa luar rumah.
“Iya, nanti Kakak antar kamu, lagian sekolah waktu Kakak dulu,”