Panas tak karuan, membuat mukanya lembab dan berminyak. Tak sengaja matanya memandang ke arah cermin yang terpampang di pintu toko buku, sebelumnya dia tak menyadarinya karena terburu-buru untuk membeli buku mata kuliah. Karena banyak tugas dari dosen membuat Najar harus bergegas untuk membeli buku itu, karena satu hari lagi kesempatan dia untuk bisa mengerjakan tugas itu. Untuk bisa sampai ke toko buku Najar harus macet-macetan dan bersabar dari serangan terik mentari yang menghantam.
‘Waduh panas banget, tak apa lah yang penting aku sudah sampai di tempat ini, pokonya aku harus beli buku itu.’ kata Najar dalam hati. Lama dia duduk di kursi yang telah tersedia di depan toko itu. Sesudah pikiranya tenang, keringat mulai mengering dia mengingat-ngingat kembali buku apa saja yang harus ia beli untuk penunjang kuliahnya di semester 3. Lama dia mengingat sambil istirahat sejenak, untuk memulihkan keadaannya, tiba-tiba dia melihat perempuan yang keluar dari toko buku persis di pinggir posisi dia duduk. Tak sengaja Najar melihat ada yang jatuh dari tas yang perempuan itu bawa. Perempuan itu tak menyadari bahwa ada sesuatu yang jatuh dalam tasnya. Mungkin perempuan itu terburu-buru. Sontak Najar memangil perempuan itu. “Kak, Kak, Kak ada yang jatuh!” panggilan Najar menggema dan keras, tapi tak membuat perempuan itu megubris panggilanya. Perempuan itu dengan cepatnya turun ke anak tangga. Sampai tak terlihat. Setelah dia melihat ada yang jatuh, lalu mengambilnya. Ternyata sebuat tas kecil berbentuk boneka beruang warna coklat dan pita hitam mengikat lehernya. Sesudah Najar mengambilnya dia duduk kembali di tempat semula. Karena penasaran Najar pun membuka isi dalam tas kecil itu. Setelah dia membukanya ternyata isi dalam tas kecil itu identitanya perempuan dalam sebuah dompet dan perlengkapan sekolah, seperti pensil, penghapus dan beberapa perlengkapan yang lain.
Setelah beberapa kali tas itu ia lihat, ternyata perempuan itu adalah siswa SMA kelas 11 IPA. Alamat yang tertera di kartu pelajar di Jalan Peta. Tak jauh dari rumahnya Najar. Dalam hatinya mungkin di lain waktu ia akan mencari rumahnya untuk mengembalikan tasnya yang jatuh itu. Tak lama kemudian ia memasukan tas kecil itu ke dalam tas yang di bawanya lalu bergegas masuk ke toko buku itu, setelah hampir satu jam akhirnya dia menemukan buku yang di maksud dan membelinya. Perasaanya menjadi lega meskipun tugas masih belum ia selesaikan.
Sekarang waktu menjelang sore sekitaran jam tiga, lanjut untuk mengerjakan tugas. Hanya seorang diri karena teman-temanya ada kepentingan lain jadi terpaksa dia harus mengerjakan sedirian meskipun itu tugas kelompok. Persentasi yang minggu-minggu kemarin telah ia dan teman-temanya paparkan akan tetapi makalahnya belum selesai dibuat, supaya mendapat nilai tambahan dari dosen ya terpaksa malam ini juga, harus mengumpulkannya lewat email ke dosen yang bersangkutan.
Sore itu Najar dengan khusunya mengerjakan tugas deadline di kafe yang sering ia kunjungi, nongkrong sama teman-temanya dan jika banyak masalah pasti dia ada di kafe itu. Letak kafe yang strategis berada di Jalan Burangrang, membuat dia merasa nyaman di tempat itu. Kafe Up Normal setia menemani dirinya di kala sedih, gembira. Dia sering meluangkan waktunya sejenak di kafe itu. Secangkir kopi hitam dan makanan setia dengannya, laptop dan buku-buku yang telah dia beli itu sangatlah berguna, tidak hanya membantu dalam tugas, tapi membantu juga ketika ia sendiri. Buku novel koleksinya pun setia menemani. Hari-hari itu Najar lengkap dengan tugas deadlinenya, membuat dia lupa untuk pulang ke rumah.
***
Niat baik, dengan rasa ingin menolong dengan tulus sikap yang tertanam dalam benak hati Najar. Memang benar nasihat dan pepatah orang tua sangat berpengaruh terhadap perkembangan kedewasaan seseorang. Dengan pikiran ingin membantu keluarga dan mendapatkan semua yang dia inginkan, sampai terciptanya rasa berbuat baik kepada orang lain.
Satu bulan kemudian tak terasa ulangan tengah semester (UAS) telah Najar selesaikan, dengan pikiran was-was, pra-sebelum UAS kini pikirannya menjadi tenang. Dalam pikirannya sekarang adalah menuju masa liburan. Lumanyan lama untuk menenangkan sejenak pikirannya dari permasalahan kampus. Sebenarnya banyak sekali agenda yang ia sudah atur-atur dari beberapa bulan kebelakang semisal liburan bersama teman-temanya dan rencana pulang ke kampung halaman, biasanya kalu anak perantau kalau libur pasti pada pulang.
Najar ada niatan ingin mengembalikan tas kecil boneka yang dia temukan. Dilihatnya kembali bonekan yang dia temu ketika di depan toko buku. Najar pun sudah lama menyimpannya di laci kamarnya. Dia pun mulai membuka-buka kembali isi dari tas kecil itu. Tas kecil itu masih sama, bersih seperti baru ia temukan. Hati kecilnya bergumam untuk mengembalikan ke pada pemiliknya di sisi lain pikirannya berterbangan merasa tak enak hati dan semacamnya yang membuat ia lama untuk berpikir. Setelah pikiran sehatnya pulih dan ia sadar aka niatan baik untuk mengembalikan tas itu. Tak berlama-lama Najar mandi terlebih dahulu, karena badan terasa bau keringat.
Amat pagi sekitaran jam delapan, dia sudah siap dengan memakai jaket bomber dan celana jeans yang sering dia kenakan, karena menurutnya hari libur adalah hari bebas. Antara hari kuliah dan tidak sangat berbeda. Bisa terbilang kalau kuliah adalah hari resmi dan libur adalah hari bebas. Yang jelas ketika memakai pakaian pun sangatlah berbeda. Dengan rambut rapih, dan harum parfum yang semerbak memecah angin pagi. Dimasukannya tas boneka itu ke dalam ranselnya. Setelah selesai sarapan dia pun bergegas pergi keluar rumah untuk mengambil motor.
Selesai mengeluarkan motor dari dalam rumah. Tiba-tiba ponselnya berdering terdengan nyaring dari dalam tas. Dibukanya oleh Najar tas itu ternyata, panggilan dari teman dekatnya. Lalu ia mengangkatnya.
“Maaf saya tidak bisa bantu anda, karena ini hari libur,” jawab Najar ngasal.
“Jar, sekarang kamu di mana?” tanya Cepta Lukman.
“Ada apa Cep, kenapa kamu telpon aku, bukannya kamu lagi liburan?” seru Najar dengan memindahkan genggaman telponnya ke sebelah kiri.
“Iya gak jadi, karena ada hal yang belum aku selesaikan?” suara setandar.
“Ohh, terus mau apa? aku lagi buru-buru.” Najar melihat ke sekeliling jalan depan rumah.
“Aku hanya minta tolong, nanti malam bisa bantu aku gak. Stepin motor ke bengkel karena motorku mogok?”
“Oh itu kirain aku apa, iya tapi nanti kan.” jelas Najar.
“Iya.”
“Baiklah.” jawab Najar.
Tak ada sepatah kata lagi dari Cepta panggilan itu terputus. Cepta Lukman adalah teman dekatnya Najar, ia sama satu kampus dengan Najar, dia juga orang Bandung asli. Sekilas tentang Cepta.
Lalu Najar bergegas untuk pergi mencari alamat rumah yang ia tuju, tak jauh dari tempatnya, hanya saja ia harus memutar karena bensin motornya mau habis, terpaksa harus mengisinya terlebih dulu. Selesai ngisi bensin di pom, ditancap gas motornya menuju alamat rumah Renita Kilanti sekilas yang dia tahu dari kartu pelajarnya. Setengah jam kemudia ia sampai di depan gapura menuju alamat itu.
Setelah bertanya-tanya seputar alamat itu kepada orang-orang sekitar ternyata benar dan ada pula yang mengenali sosok Renita Kilanti. Kebetulan kerabatnya. Orang itu pun menunjukan letak rumahnya, tapi langsung pergi karena masih ada urusan, dan hanya menunjuk rumah yang Najar cari. Lalu ia masuk ke dalam gapura itu, sesampainya ia di depan rumah yang tadi orang itu tunjuk, lalu di parkirkan motornya tepat di sebrang jalan rumah perempuan itu.
Tak lama kemudia Najar memberanikan diri untuk masuk ke rumah perempuan itu, tiba di gerbang rumah ada satpam penjaga.
“Maaf ada yang bisa saya bantu,” kata pak satpam mendekat.
“Saya mau cari alamat ini Pak,” kata Najar memperlihatkan tulisannya, yang sedari tadi di rumah sudah dia tulis dalam selembaran kertas.
Najar pun menanyakan soal kebenaran alamat yang ia cari tanpa menjelaskan mau mengembalikan barang yang dia temukan, Najar hanya bilang ingin bertemu dengan Renita.
“Kalu Renitanya ada Pak?” tanya Najar.
“Ada, tapi kalau orang tuanya lagi pergi ke luar kota,” matanya memperhatikan Najar.
“Makasih Pak.”
“Langsung masuk saja Aden,” kata pak satpam, dengan segera membuka pintu gerbangnya.
Langkah kakinya Najar pun bergegas masuk dan sedikit gemetar karena pikiranya tak menentu, mudah-mudahan tidak ada pikiran yang negatif dari Renita, bisa saja berprasangka buru kepada Najar sebagai pencuri. Tapi untuk saat itu juga dia mencoba membuang pikiran jeleknya pelan-pelan, dan menerima hasil nanti, karena ini semua adalah niatan baiknya.
Ia pun mengetuk pintu tiga kali.
Tok. Tok. Tok.
Dengan raut muka mencoba untuk tetap tenang dengan tangan dimasukan ke dalam saku celana serta tas di selendangkan sebelah lengan kanannya dan tangan kiri mengetuk pintu, setelah beberapa saat tak kunjung ada yang membuka pintu, lalu ketukan ke dua dengan ketukan sama tiga kali. Najar pun menunggu beberapa saat dengan memutar badan membelakangi pintu itu. Tak lama kemudian pintu itu di buka.
Terdengar suara ayu bertanya. “Ada apa ya?” berbunyi nyaring. Lalu Najar memutar badan. “Dengan Renita Kilanti bukan?” tanya Najar sedikit canggung. Ketika melihat Renita Kilanti membukakan pintu rumahnya dengan raut muka tersenyum dan mengenakan baju pink polos dan rambut dibiarkan terjatuh di atas pundaknya. Serta mengenakan celana mini selutut.
“Iya, saya sendiri. Memangnya ada apa?” Matanya hitam pekat memandang tiada henti.
“Aku ke sini cuma ingin mengembalikan ini,” kata Najar dengan membuka tasnya, lalu mengambil tas kecil berbentuk boneka.
“Ya ampun, sudah lama aku mencari tas kecilku ini,” kata Renita tersenyum bahagia lalu mengambil tasnya dari tangan Najar.
“Kamu dapet tas ini dari mana?” tanya Renita. Dengan membuka tasnya melihat satu persatu barangnya.
“Tak sengaja aku nemu tas itu di depan toko buku, setelah aku panggil-panggil kamu tapi sudah pergi dan menghilang yang terpaksa aku bawa dulu, tapi maaf aku lama ngembalikan tasnya, karena aku sibuk kuliah,” alasan Najar.
“Gak papah kok, harusnya aku yang berterima kasih sama kamu. Makasih ya. Salam kenal nama aku Renita Kilanti,” kata Renita menyodorkan tangannya.
“Sama-sama, aku Najar Wiki. Panggil saja Najar.” Menjabat tangannya Renita. Dengan saling memandang dan tersenyum.
“Masuk dulu, maaf aku berpakaian seperti ini soalnya tadi lagi beres-beres rumah,” kata Renita.
“Iya tak apa, maaf mengganggu,”
“Tidak kok, sini masuk ke rumah dulu,” Renita mempersilahnya untuk Najar masuk rumahnya.
“Maaf, aku langsung pergi saja, karena masih ada urusan, lain kali saja ya,” kata Najar.
“Oh iya,” sedikit menurunkan nada suara.
“Aku duluan,” kata Najar dengan kaki sedikit melangkah.
“Tunggu kalau boleh aku minta nomor kontakmu.” Renita mengangkat tangannya.