"Aduh…!!!” Kinar mengelus dahinya yang kesakitan karena terbentur badan pohon yang sangat besar. Masih mengernyitkan dahi, dia kaget ketika membuka mata secara perlahan, nampak di depannya hamparan rumput dan lembah yang sangat indah. Tidak hanya rumput hijau, lembah itu juga dipenuhi dengan bunga dengan berbagai warna. Dari tempatnya berada, Kinar dapat memandangi pemandangan memukau yang ada di bawahnya.
“Taman indah ini milik siapa ya?” gumamnya,
Kinar masih duduk di bawah pohon besar itu, dia dapat merasakan hembusan angin sepoi yang kaya akan oksigen. Tempat ini cocok dijadikan destinasi jika ingin bersantai dengan buku serta lantunan musik yang merdu. Namun kekagumannya pada tempat itu terbuyarkan dengan suara ramai dibawah lembah, dia mencoba berdiri dan memanjangkan tubuhnya seolah ingin mengintai kejadian yang ada di bawah. Beberapa orang berlarian dan menyebutkan berkali-kali kata panglima.
“Apakah ini lokasi syuting film ya?” fikir Kinar kebingungan.
Dari kejauhan Kinar melihat dua menara asing yang sangat tinggi. “Fix deh ini tempat syuting era kerajaan!” yakin Kinar.
Kinar kemudian hendak pergi untuk pulang, namun dia teringat dengan sepeda kesayangannya, tiba-tiba memori Kinar kembali ke beberapa waktu yang lalu. Sebelum berada di tempat ini, Kinar sedang mengayuh sepedanya untuk pulang ke rumah. Namun sebelum pulang ke rumah Kinar sempat mampir ke rumah kakeknya sebentar, berharap bisa menjumpai akang penjual rawon keliling langganannya sedari kecil. Suasana senja tepatnya pukul empat sore membuat jalanan di sekitar rumah kakeknya tidak begitu ramai. Kinar memang sering berkunjung ke rumah kakek selepas dari sekolah. Biasanya dia menghabiskan waktu kurang lebih satu hingga dua jam untuk menemani sang kakek.
Masih dengan seragam sekolah dan jaket rajutnya, kinar senang mengayuh sepeda berjalan-jalan menikmati waktu senja. Hari itu, Kinar sangat senang dan kenyang karena bisa makan rawon kesukaannya di teras rumah bersama kakek. Selepas makan, Kinar yang membawa piring ke belakang, matanya tertuju pada sebuah toples unik dan cantik milik kakek di atas lemari kayu.
“Kek, toples cantik siapa ini?” kata Kinar sambil berjalan menuju teras depan.
“Oh toples itu, pagi tadi kakek menemukannya di gudang Kinar, mungkin milik almarhumah nenek yang dari dulu suka mengoleksi benda-benda unik.” Balas kakek.
“Kek, apakah Kinar boleh memiliki toples ini?” pintanya memelas.
“Ya boleh saja, sekalian sebagai hadiah ulang tahun ya untuk Kinar.” Kata kakek sambil tersenyum lembut pada cucu kesayangannya.
“Hmmm.. kakek ingat hari ini ulang tahun Kinar?” mata Kinar berkaca-kaca dan raut mukanya seperti ingin menangis.
“Kakek selalu mengingatnya Kinar.” Ucap kakek pelan sedari menatap awan seakan matanya bercerita bagaimana kejadian 17 tahun yang lalu ketika semua keluarga begitu bahagia Kinar lahir ke dunia.
“Kinar sayang kakek, hiks… hiks… hiks.” Kinar menangis dan memeluk kakeknya, hatinya sedih karena orang-orang disekitarnya tidak memberikan perhatian seperti kakek dan almarhum neneknya berikan. Sebelum neneknya meninggal dunia, setiap tahun akan ada Tumini untuk Kinar, yaitu Tumpeng Mini khas buatan nenek yang sangat lezat dan juga nikmat. Semuanya sudah berubah bahkan teman dekat Kinar pun lupa pada ulang tahunnya, tidak ada satu ucapan pun yang diberikan pada Kinar. Namun Kinar masih bersyukur, setidaknya di ulang tahunnya kali ini, dia mendapatkan hadiah sederhana dari sang kakek yaitu nasi rawon favorit serta toples cantik yang sangat menarik. Senja semakin menampakkan silaunya, kakek menyuruh Kinar untuk segera pulang karena takut kemalaman. Meskipun jarak rumah kakek dan rumahnya tidak terlalu jauh, tapi dia tidak ingin terlambat pulang sebelum kedua orang tuanya sampai di rumah selepas bekerja. Kedua orang tua Kinar memang seorang pekerja keras yang setiap hari pulang larut malam. Mereka beranggapan bahwa kerja keras dari kedua orang tua berguna untuk masa depan anak semata wayangnya. Namun sebenarnya Kinar ingin mendapatkan perhatian dari keduanya, minimal mendapatkan ucapan ketika bertambah usia dan kini sudah beranjak dewasa.
Setelah mengecek barangnya, Kinar memastikan kembali kepada kakek untuk membawa toples tersebut, dia masukkan ke dalam tas ranselnya. Kinar segera pamit dan ijin pulang pada kakeknya. Dia siapkan headset untuk mendengarkan musik sendu ke telinganya, Kinar kayuh secara perlahan dan menuju arah pulang. Di tengah-tengah perjalanan tas nya bergerak-gerak, Kinar kaget dan segera mengarahkan tas ranselnya untuk berada di depan badannya. Dia buka secara perlahan resleting tasnya, dan dia melongok ke dalam tas. Ternyata toples pemberian kakek bercahaya, segera Kinar ambil toples itu dan dia putar mengamati cahaya secara perlahan. Belum menemukan jawaban saat mengamati cahaya dalam toples, tiba-tiba cahaya terang menyerang Kinar dan hembusan angin yang sangat kencang membawa tubuhnya berputar. Tubuhnya melayang dan terjatuh seperti masuk pada sebuah lorong cahaya, kemudian Kinar sudah terjatuh di dekat pohon besar yang ada pada lembah yang sangat indah,
“Aku berada dimana ini?! Apakah aku mimpi?” Kinar berteriak sambil menepuk-nepuk pipinya dengan keras. Kinar merasakan suasana dan aura tempatnya berdiri sekarang sangat berbeda dengan dunianya.
Ditengah kebingungannya dia melihat toples yang berada di dekat akar pohon besar tersebut bercahaya. Kinar dengan cepat ingin meraih toples itu untuk membukanya. Dia berharap ketika dapat membuka toples pemberian kakek, Kinar bisa kembali ke dunianya. Usahanya sia-sia rasa gugup dan tegang Kinar membuatnya kesulitan untuk membuka toples tersebut. Parahnya toples tidak bisa terbuka dan terjatuh menggelinding ke arah bawah lembah. Kinar terkejut dan segera berlari menuruni lembah agar toplesnya bisa segera dia buka. Belum sempat meraih toplesnya, Kinar terpeleset dan jatuh dari lembah menuju ke tempat riuh para warga. Benturan yang cukup keras pada kepala Kinar membuatnya pingsan ketika tubuh kecil tersebut berhenti di tengah jalan. Para warga kaget melihat ada seorang gadis yang terjatuh dari atas lembah serta tampilannya yang sangat berbeda dengan kebanyakan manusia di sekitarnya.
Seorang warga meneriaki kata-kata, “Dia pasti utusan Lokawigna, dia utusan Lokawigna!”
Seluruh warga ketakutan dan menghindar dari tubuh Kinar, bahkan seorang wanita paruh baya yang akan membantu Kinar pun mundur menjauhi tubuh Kinar karena ketakutan.
“Kita bakar saja, bawa ke tengah desa!” umpatan salah satu warga.