Senja bergulir perlahan di luar jendela kafe itu, melukis langit dengan warna jingga yang sendu. Tapi di meja sudut ini, tidak ada cerita tentang tangan yang saling menggenggam, atau tatapan yang saling mencari.
Yang ada hanya dua manusia yang sibuk dengan dunia mereka masing-masing—saling diam, saling asing.
Kay menghela napas pelan. Ujung jarinya mengetuk-ngetuk layar ponsel, sesekali melirik Dion di seberangnya yang masih tenggelam dalam layar kecil itu, jari-jarinya menari di atas keyboard virtual, entah berbincang dengan siapa.
“Sayang,” Kay akhirnya memecah sepi, suaranya datar. “Minggu ini… kamu bisa datang ke nikahan Lily, kan?”
Dion tidak langsung menjawab. Ia butuh waktu beberapa detik untuk mengalihkan perhatiannya dari ponsel, lalu mendesah pendek.
“Hmm...Minggu ini kayaknya aku ada jadwal manggung di Jakarta.”
Kay membeku. “Serius?” Nada suaranya naik sedikit tanpa bisa ia tahan. “Nikahan kakakku, Dion. Aku udah kasih tahu kamu jauh-jauh hari.”
Dion mengangkat bahu, ekspresinya bersalah tapi tetap bertahan. “Aku nggak bisa ninggalin kerjaan, Kay. Kita udah deal dari bulan lalu.”
Kay menunduk, menahan kemarahan yang mendesak di dadanya. “Prioritas kamu tuh… bener-bener, ya,” gumamnya pahit. “Selalu band, band, band. Seolah cuma itu satu-satunya hal yang penting di dunia kamu.”
Dion mengernyit. “Yaa…itu penting buat aku, Kay.”
Kay mendengus pelan. Tangannya menggenggam ponsel begitu erat hingga buku-bukunya memutih. “Penting? Buat apa? Kamu ngarep bisa jadi artis gitu? Jangan mimpi, Dion. Kita udah bukan anak SMA lagi. Kamu pikir passion itu cukup buat hidup? Cari kerjaan bener, logis, yang bisa ngehasilin uang.”
Untuk pertama kalinya malam itu, sorot mata Dion berubah. Ada luka yang perlahan muncul di balik ketenangannya.
“Ini ngehasilin uang juga kok, cuma gak kelihatan aja.” Dion bersikeras, “kamu pikir selama ini uang kuliahku dibayar pake uang apa?”
“Aku juga nggak pernah nyusahin kamu, Kay,” suaranya berat, dalam. “Selama kita pacaran… aku nggak pernah minta kamu bayarin makan, ngedate, apa pun. Aku kerja serabutan, manggung, ngamen, apa aja, biar aku bisa traktir kamu. Aku bahkan… nggak pernah minta apa-apa dari kamu.”
Kay terdiam. Tapi egonya masih berteriak, membutakan hatinya. “Tapi gak menjamin buat masa depan.”
Dion menghela napas panjang, menahan semua amarah yang mengguncang dadanya.
Dia berdiri, “Kita pulang aja.” Ucapnya dingin.
Malam itu, mereka berjalan berdampingan menuju parkiran. Tanpa bicara, tanpa saling menoleh. Dion tetap mengantar Kay pulang seperti biasa—seolah segala kata-kata tajam itu tidak pernah ada. Seolah cinta itu cukup kuat untuk tetap bertahan, meski sudah lama sekali berubah bentuk.
Dalam diam mereka, ada sesuatu yang perlahan-lahan runtuh. Sesuatu yang bahkan tidak mereka sadari sedang hancur, hingga kelak saat mereka menoleh ke belakang… semua sudah terlambat.
***