Kay dan Dion

Vania Faustin
Chapter #2

Tentang Pernikahan

Langit menjingga, dan sore itu pantai seolah menyimpan kehangatan yang tak tergantikan. Ombak menggelayut lembut di bibir pasir, menyentuh kaki Kay dan Dion yang duduk berdua, membiarkan dunia berjalan tanpa mereka. Kay menggulung celana jeans-nya sampai lutut, rambutnya acak-acakan ditiup angin, dan hoodie Dion melorot di bahunya.

Ia tertawa kecil, melihat laut jauh di depan. "Nanti kalau kita nikah, kita honeymoon ke sini lagi, yuk," ucapnya ringan, seolah kalimat itu adalah hal paling biasa di dunia.

Dion tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap ombak, lama. Lalu menunduk, menggambar garis-garis tak bermakna di pasir dengan jarinya.

"Beb?" Kay menoleh.

"Ngapain buru-buru banget ngomongin nikah?" jawab Dion akhirnya, suaranya pelan, hampir tenggelam dalam debur ombak.

Kay mengerutkan kening. "Emang kenapa? Aku cuma bilang honeymoon. Nggak langsung ngajak akad juga kali."

"Tapi kamu sering banget ngomongin itu."

"Karena aku suka mikirin masa depan kita."

"Dan aku masih mikirin hari ini."

Kalimat itu seperti batu yang dilemparkan tiba-tiba ke tengah danau. Riaknya menyebar pelan, menampar dada Kay.

Ia tertawa hambar. "Kamu selalu kayak gini setiap aku bahas nikah. Selalu ngeles. Selalu ngebelokin topik."

Dion menarik napas panjang, lalu menatap Kay dengan mata yang tenang tapi jauh—seolah hatinya berada di tempat yang belum bisa dijangkau siapa pun. "Aku gak tahu bisa nikah umur berapa. Gak tahu mau nikah sama siapa. Gak tahu aku sanggup atau enggak."

"Dan kamu tahu aku selalu berharap itu kamu, kan?"

Dion terdiam.

Kay memeluk lututnya. Suaranya lirih. "Aku gak minta kamu ngelamar aku sekarang. Tapi bisa gak... sesekali aja, pura-pura pengen juga? Pura-pura bayangin?"

"Kay," Dion bergumam, suaranya hampir hancur. "Aku gak mau bohong. Bahkan kalau itu bikin kamu seneng."

Kay menunduk. Tangannya meremas pasir.

"Jadi kamu gak pernah ngebayangin kita nikah?"

Dion butuh waktu lama untuk menjawab. Dan saat akhirnya ia melakukannya, nadanya dingin tapi jujur. "Belum. Aku belum bisa."

Dan angin sore yang tadi hangat kini terasa asing. Ombak yang tadi mengelus kini menyentuh seperti luka.

Kay tersenyum kecil, walau matanya mulai kabur. "Kamu tuh ya... selalu bikin aku jatuh cinta, tapi gak pernah siap buat nangkep aku beneran."

Dion menatapnya. Wajah itu. Mata itu. Seseorang yang dicintainya habis-habisan. Tapi bahkan dengan semua itu... ia tetap belum siap.

***

Kay duduk di sebuah café kecil, di pojok ruangan, di antara riuh tawa teman-teman lamanya.

Wajah-wajah yang dulu akrab di bangku kuliah, kini telah berubah.

Ada lingkaran hitam di bawah mata, ada kilau lelah di sudut senyum mereka — namun ada pula kebahagiaan yang nyata, yang sederhana.

Anak-anak mereka berlarian mengelilingi meja, sesekali Kay tersenyum kepada mereka.

Juga cerita tentang malam-malam tanpa tidur, tentang susu tumpah, tentang langkah kecil pertama.

Kay hanya tersenyum, menyesap kopi yang sudah mulai dingin.

"Aduh, seru banget ya kalian," sahutnya pelan, mencoba ikut tertawa.

Lihat selengkapnya