Kay dan Dion

Vania Faustin
Chapter #4

Arah Hubungan Kita

Kay menatap kosong ke arah layar ponselnya yang mati. Sudah hampir satu bulan sejak pertemuan terakhirnya dengan Dion—kekasihnya. Mereka masih berada di kota yang sama, dengan jarak yang tak seharusnya menjadi masalah. Sejak pertengkaran itu, semakin lama, semakin terasa ada ruang kosong yang membentang di antara keduanya.

Perdebatan mereka tentang Natha rasanya sudah lama terlupakan. Kay menenggelamkan egonya dan sadar kalau tidak seharusnya ia bersikap seposesif itu pada Dion. Natha hanya teman band Dion, malah tidak satu band. Seharusnya, Kay tidak terlalu meledak-ledak waktu itu.

Namun, bukan masalah Natha yang menjadi pikiran Kay saat ini. Tetapi, kejelasan hubungannya dengan Dion, serta jarak di antara mereka berdua yang kian lama kian meluas.

Meski dia tahu kalau Dion bukanlah orang yang terlalu aktif di media sosial, atau selalu terikat dengan ponsel, rasanya semakin berat baginya untuk menerima kenyataan itu. Apalagi ketika melihat teman-temannya yang selalu ditemani pasangan mereka—setidaknya ada komunikasi yang terjaga, walaupun lewat chat singkat atau panggilan telepon.

Dan entah kenapa, Kay merasa semakin jauh, semakin terasing. Kekecewaan itu mulai menggerogoti hatinya.

Kay sering berpikir, adakah yang salah dengan dirinya? Ia tahu Dion bukan orang yang banyak bicara, dan dulu, ia menerima itu tanpa banyak protes. Tapi kini, semuanya terasa berbeda. Ia merasa seolah-olah dijauhkan, meski keduanya masih saling ada, masih satu kota, satu dunia yang sama.

Sore itu, Kay memutuskan untuk datang ke rumah Dion, tak sabar untuk bertemu. Rasa kecewa dan rindu bercampur aduk. Seharusnya, waktu yang mereka miliki untuk bertemu itu adalah waktu yang berharga. Namun, ketika Dion muncul di depannya, hanya ada sebuah senyum yang tergurat di wajahnya, senyum yang terasa begitu hangat, tetapi juga sangat jauh.

"Lama banget," ujar Kay, merasa kesal, tapi juga tak bisa menahan senyumnya yang samar.

Dion hanya tertawa kecil. "Hehe, sorry, Dear. Tadi mandi dulu."

Kay tahu, senyum itu—meskipun tak selalu tampak sempurna di mata orang lain—adalah senyum yang selalu membuat hatinya meleleh. Gadis itu selalu menganggap Dion sebagai yang paling tampan untuknya, juga senyumnya, selalu ada kekuatan dalam senyum itu yang membuat segalanya terasa lebih baik. Namun, meski hatinya luluh, ada sesuatu yang terus mengganggu pikirannya.

Ia melirik ke arah Dion yang kini sibuk dengan ponselnya. Scrolling timeline Instagram dengan tatapan yang kosong, seakan dunia di luar sana jauh lebih menarik daripada dunia yang sedang mereka jalani.

"Bisa kan main Instagram-nya pas gak ada aku aja?" protes Kay, berusaha menahan rasa kesal yang membuncah.

Dion hanya menoleh sebentar. "Aku nggak chat sama siapa-siapa kok," jawabnya singkat, dan kembali pada layar ponselnya.

Kay terdiam sejenak. Kecewa. Tetapi lebih dari itu, ada perasaan hampa yang semakin menggelayuti dirinya. "Gak usah ketemu aja kalau kayak gini," ujarnya, dengan nada yang lebih dingin dari biasanya.

Dion berhenti sejenak, menatap Kay dengan tatapan yang lebih dalam. "Kenapa lagi, sih?" katanya pelan, seakan tak memahami apa yang terjadi. "Bukannya kamu kemarin yang pengen ketemu?"

"Jadi cuma aku yang mau ketemu?" Kay hampir tak percaya dengan kata-kata Dion. "Kita udah satu bulan gak ketemu, Dion. Wajar kalau aku marah!" ujarnya, emosi yang sulit ditahan.

Dion menghela napas, memegang dahinya. "Udah, lah. Aku males bahas-bahas terus masalah ini."

Lihat selengkapnya