Kayla: Perempuan Penggenggam Bara Api

Yooni SRi
Chapter #2

Bukan Khadijah

“YAKIN kau, Kay?” Rupanya Hafsah masih belum bisa menyingkirkan perasaan cemas bercampur takut yang masih bercokol di benaknya. Tatapan wanita itu lurus ke depan. Ke arah sekelompok pemuda yang tengah bernyanyi di teras indekos tak jauh dari mobil mereka terparkir.

Total ada empat orang di sana. Salah seorang yang rambutnya diikat ekor kuda sedang memainkan gitar, sementara tiga lainnya bernyanyi dengan suara sumbang. Keempatnya berpenampilan nyaris serupa: lengan bertato, rambut yang sengaja dicat, kaus oblong berpadu dengan celana jeans robek pada bagian lutut yang warnanya mulai luntur, telinga yang ditindik, serta aksesoris seperti gelang dan kalung yang seharusnya tidak melekat pada tubuh seorang muslim—entahlah mereka muslim atau bukan.

“Yakin, Kak. Insyaallah.” Kayla, si adik ipar yang menjadi sumber kekhawatiran Hafsah menjawab dengan suara rendah yang mantap. “Kenapa sih dari tadi nanya terus, Kak?”

Hafsah melirik adik iparnya itu dengan gemas. “Kakak khawatirlah, Kay. Tengoklah, kawan-kawannya aja kek gitu,” bahunya bergidik dramatis, “Awanmu itu apa kabar?”

Sebutan yang Hafsah berikan itu serta-merta membuat pipi Kayla merona. Awannya Kayla ya? Akankah doa itu berujung nyata? Entahlah. Kayla tidak yakin. Yang pasti Kayla hanya perlu meminta dan berusaha tanpa kenal lelah. Lalu menyerahkan sisanya kepada-Nya.

“Dia baik kok, Kak.” Seperti sebelumnya, Kayla terus saja memuji pria yang belum Hafsah ketahui wujudnya itu. “Ya memang penampilannya agak urakan, mirip-mirip preman pajak , tapi Kay seratus persen yakin dia itu orang baik.”

Hafsah menatap si adik ipar dengan tampang, Sok yakin kau!

“Lagian kan gak boleh menilai orang cuma berdasarkan penampilan luarnya doang sih, Kak.” Kayla kembali bicara. Suaranya yang selembut marshmallow itu tampaknya cukup berhasil membuat kakak iparnya melunak. “Karena koruptor yang penampilannya rapi dan berpendidikan aja nyatanya makan uang rakyat, kan?”

“Iya, Kakak ngerti maksudmu. Kakak cuma takut aja, Kay.” Hafsah masih menunjukkan kekhawatirannya. Kembali ia mengamati pemuda yang masih bernyanyi dengan suara fals di depan sana. Lalu kedua matanya membesar.

“Tuh, tuh, Kay! Orang itu minum khamar! ” Kekhawatirannya semakin menjadi-jadi saat matanya menangkap si rambut cepak yang sedang mengambil botol kaca berwarna hijau dari kolong bangku.

Karena tidak tahu lagi harus berkata apa untuk menenangkan kakak iparnya yang suka over cemas ini, Kayla melayangkan pandangannya ke spion tengah. Tatapannya bertemu dengan abangnya yang—sejak tadi diam saja—duduk di belakang kemudi.

“Kayla betul, Dek.” Lutfi akhirnya buka suara. Suami Hafsah yang wajahnya mirip-mirip Dimas Seto itu memutar badannya ke belakang dengan satu tangan masih menggenggam setir. Sekilas menatap Kayla lalu beralih ke Hafsah. “Jangan suka berprasangka buruklah sama orang. Belum tentu juga akhlaknya seburuk penampilannya.”

Kayla mengangguk-angguk sambil menatap wajah kakak iparnya yang ditekuk. Perhatiannya kembali ke ke depan ketika mendengar abangnya kembali berbicara.

“Tapi abang masih gak setuju Kay melamar duluan kek gini.”

“Tuh.” Hafsah mendadak bersemangat.

“Kalo suka, Kay harusnya bilang sama abi biar abi yang ngomong sama dia. Bukan malah datang sendirian terus melamar. Salah ini kalo kek gini.”

Lutfi benar. Tidak seharusnya Kayla menyerahkan diri seperti ini. Tapi Kayla tidak bisa lagi menahan diri. Kayla sudah berpikir sangat lama dan serius. Ia bahkan sudah melakukan istikharah. Memintakan pria itu kepada Allah untuk disandingkan dengannya. Juga memohon petunjuk dan meminta pertolongan agar dibukakan jalan agar mereka bisa bersama.

Hingga akhirnya hari itu datang. Kayla yang sudah mantap dengan keputusannya, datang menawarkan diri kepada Awan untuk dinikahi. Dan sesuai prediksinya, pria itu menolaknya tanpa iba. Malah sempat mengatainya gila. Tapi bukan Kayla namanya jika patah semangat dan menyerah. Patah hati boleh-boleh saja, tapi jangan sampai menutup hati. Apalagi kalau sudah sangat yakin bahwa orang itu adalah yang terbaik.

Ia meminta bantuan abangnya agar bersedia menemaninya mendatangi Awan di indekosnya, meski dengan drama merengek-rengek. Maka di sinilah Kayla sekarang, berdiri gugup di hadapan empat pemuda yang mendadak berhenti bernyanyi ketika melihat kedatangannya.

“Tunggu bentar ya, Kak. Apa mau masuk aja ke dalam?” tawar si gondrong yang tadi memainkan gitar.

Kayla menolak halus. “Gak papa, di sini aja.”

Lihat selengkapnya