Pria itu masih berdiri di tengah lorong. Tak tahu apa yang dia tunggu. Dia sangat pandai dalam menakut-nakuti orang.
"Woi! Siapa lu ha!" bentak Rizky
Pria yang disebut Bram Majordomo itu masih setia untuk berdiri di lantai yang sama. Situasi perlahan mencekam. Elita merekam sosok itu dengan amat jelas. Bram dan yang lain masih membeku menyaksikan orang itu diam berdiri.
Tiba-tiba lampu perlahan padam. Padam meninggalkan bayangan. Mereka yang berada di sana kebingungan. Keringat tentu saja mengalir deras dalam tubuh mereka. Niat untuk bekerja yang menjadi sia-sia karna semua ini.
Bram memutar badan dan memerintahkan mereka semua untuk mengeluarkan ponsel masing-masing. "Keluarin ponsel kalian! Hubungi teman-teman kita yang di bawah. Cepat!" teriak yang teramat keras.
"Bram ...." sahut Naomi diikuti yang lainnya dengan gaya yang sama.
"Bram?"
"Bram ... "
"Kenapa? Kenapa?" Bram memaksa.
"Sinyal ngga ada Bram. Wi-Fi juga mati," jelas Arthur.
"Gimana bisa!?" ujarnya.
Mereka gelisah dan tertunduk lemas. Lalu mereka lupa bahwa di sebrang sana ada seorang pria aneh berdiri entah menunggu apa.
"K—kemana Dia?" Naomi bertanya.
Sosok itu menghilang dari lorong. Seperti angin. Lalu begitu saja tanpa aba-aba.
"Bram, sudah. Udah selesai." teriak Fazi.
Bram masih terpaku. Dia membayangkan kemungkinan terburuk. Dimana rekan kerjanya pulang dengan nama hanya karena draft yang tengah ia kerjakan.
"Bram, kita harus ngapain sekarang?" lanjut Fazi.
Bram kembali sadar dan mulai mengambil alih. "Oke, sekarang simpan semua salinan ini. Kita harus keluar dari sini. Gue ngga tahu apa yang bakal dilakuin. Tapi yang jelas kita harus keluar dari sini un—"
Potong Daenil, "Jadi semua ini karena berita yang kamu kerjakan itu Bram? Hah?" Daenil memanas. Teman-teman yang lain mulai memikirkannya. Semua memandangi Bram dengan sinis. Berjalan perlahan mendekati dan memutar Bram.