Langkah kaki perlahan-lahan meneruskan jalan. Dari penjuru mata angin setiap mata melihat segalanya. Takut, cemas, bimbang, marah, semua harus ditekan untuk keselamatan semata.
"Ling Ling sama Daenil. Arthur sama Elita. Rizky sama Fazi dan Naomi," Bram meminta.
"Kamu sendirian Bram?" Elita memandangi Bram.
"Iya. Kalian harus selamat. Gue takut kalau sebenarnya dia mengincar gue. Karna ini salinan gue. Kita akan berpencar. Ngga semua ruangan di kantor ini padam. Ada lampu darurat. Pastikan telinga kalian tajam. Karna itu penting," Bram memegang telinganya seraya memeluk salinan itu.
"Mas Bram, aku ikut kamu," Naomi mengajukan diri.
"Naomi, lu ngga bisa. Kalian harus selamat. Percaya sama gue, selagi ada kesempatan melawan. Tolong lawan. Sosok pria ini sama kejamnya dengan namanya."
Yang lain mengiyakan. Naomi masih menatap Bram. Bram memberikan kode kedipan mata bahwasanya dia harus berjalan sendiri.
Bram menyentil telingan Naomi, "Pergi aja lu. Jaga diri lu ya."
Mereka semua bagaikan satu tim. Berkoordinasi satu sama lain untuk menjaga keselamatan masing-masing. Lucunya, Bram hanya memegang sebuah pena sebagai senjatanya, ketika yang lain memegang sebuah botol dan pisau lipat yang sering dipakai untuk memotong buah.
"Jadi Bram? Lu dan temen lu tahu kalo orang ini berbahaya?" Fazi meminta jawaban sebelum akhirnya berpencar.
"Kita harus keluar dulu dari sini," Bram berusaha untuk tidak membuat Fazi kecewa.
Mereka mulai berpencar. Ling Ling dan Daenil ke arah tangga darurat di sebelah kanan. Arthur dan Elita pergi kearah berlawanan. Fazi, Rizky dan Naomi mengikuti Bram dahulu ke lorong depan hingga nantinya di pertigaan lorong mereka berpisah.
Mereka mulai berjalan cepat dengan kondisi yang samar-samar karena gelap. Mereka mengatur nafas untuk memastikan bahwa hanya ada mereka berempat di jalan itu. Bram hampir tersandung tapi dia tetap melanjutkan jalannya bersama yang lain.
Sampailah mereka di pertigaan ini. Disebelah kanan mengarah ke parkiran. Sedangkan sebelah kiri mengarah ke ruangan pembuangan limbah. Bram memilih ruang pembuangan limbah. Karna di sana ada pipa yang mengarah langsung keluar gedung.
Mereka sangat yakin bahwa Majordomo menunggu mereka di pintu keluar nantinya. Oh iya, dua kelompok lainnya? Mereka akan bertemu di ruang konsumsi tapi melewati jalan yang berbeda. Pada dasarnya mereka menghindari pintu utama.
Mereka sangat berhati-hati. Suara detak jantung mereka lebih berisik ketimbang langkah mereka. Yang ada di pikiran Naomi adalah, jika ini permainan. Lantas apa yang terjadi jika mereka kalah?
Kelompok itu meninggalkan Bram. Bram yakin ini akan berhasil. Senter dari ponselnya cukup membantunya menelusuri lorong. Dia sedikit kebingungan karna penampakan jalan berbeda ketika lampu menyala. Ada warna-warna yang menjadi tanda bahwa ia pernah melewati ini setiap harinya. Tapi sekarang kondisi gelap. Hanya ada warna hitam.
"Bayanganmu saja tidak ada."
Bram menghentikan langkahnya.
"Siapa tadi yang ngomong?" Bram merasa ada yang berbicara.
Dia berhenti sejenak. Membiarkan keringat melintasi lehernya, membiarkan angin memasuki setiap rongga bajunya.
Ntah dari arah mana terdengar suara ketukan.
"Tuk ... Tuk ... Tuk ... Tuk ..." Suara itu semakin dekat.
Bram berprasangka bahwa itu adalah suara jam dinding.