Pria itu terdiam. Seakan-akan tidak yakin apakah yang dilakukan Naomi bisa sejauh yang dia pikirkan.
"Mas Bram—tahan sedikit."
"Dari mana kamu mendapatkan kaca mata itu, Nak?" gumam Pria ini.
Naomi menanti saatnya. Pandangan mereka lurus, sekiranya mereka masih menebak apa yang akan mereka lakukan. Naomi gusar, "Dasar Binatang lo!"
"Berikan kaca mata dan tongkat itu padaku, Naomi. Berikan–berjalan perlahan–sekarang juga. Maka kamu akan selamat."
Isak-isak nafas Naomi terdengar. Walau seorang pecinta budaya Jepang, Naomi bukanlah wanita yang pandai bertarung selayaknya para Ninja dan Samurai.
"Diam di sana, dan menurutlah," Pria ini terus berjalan mendekati Naomi. Naomi masih bergejolak dengan nafasnya.
Naomi memejamkan mata karna cemas.
"Jangan panik Naomi. Jangan panik. Tunggu momennya. Kuasai adrenalinnya," ujar Bram dalam hati.
Dia mendengar nafas Naomi yang terbatah-batah. Ada sesuatu yang terjadi pastinya. Namun sangat gelap untuk memeriksakan semua itu.
Bram berhasil mengambil pena-nya. Menekan tutup ujungnya lalu memutarnya menggunakan jempol.
"Ayo Naomi. Ayo kesini berikan itu."
"Tahan Naomi, tahan ...."
"Diam di situ. Pintar"
"Sedikit lagi Naomi ...."
"Kau anak yang baik, Naomi."
CLETEK!
"NAOMI!!!" Bram berteriak.
Bram melemparkan pena-nya ke arah Pria itu. Dia tau di mana arahnya Pria itu berjalan mendekati Naomi. Sebuah pena melayang-layang—jatuh ke lantai. Dengan suara teramat nyaring, pena ini menggeluarkan cahaya terang yang cukup menyilaukan mata.
Naomi membuka kaca matanya, "Mati kau."
Cahaya itu menyilaukan mata, membuat kaca mata infra merah ini tak berguna. Pria itupun kaget, Naomi membuka kaca matanya dengan terburu-buru. Melempar benda ini tepat ke muka Pria tadi.
Dia berlari mendekati Pria misterius itu, matanya menekuk sinis, berlari menyamping dan berbelok ke dinding. Naomi seperti dirasuki roh Pendekar. Aksinya ialah menjadikan dinding pijakan untuk melompat. Pria ini tak banyak melakukan apa-apa, dia terus terkaget dengan suara angin yang diciptakan Naomi.
CETASSS!
Tongkat itu diayunkannya menghantam punggung orang itu. Naomi melakukannya lagi namun dengan mendarat pada satu kaki. Dan ketika kaki kedua mendarat, dia mengambil tenaga dari belakang lalu memukul orang itu dengan penuh dendam.
Terdengar bunyi yang sangat mengilukan saat tongkat itu mengenai tengkorak belakang.
"Mati kau!" Naomi menggila!
Bram melihatnya. Naomi dengan sigap menendang orang ini supaya tersungkur, "Hah!!!"
Majordomo itu tersungkur. Tangannya bergetar. Kepalanya sesekali menggeleng. Naomi terdiam menjatuhkan tongkatnya. Suasana kondusif untuk sekarang.
"Ba—gus. Naomi. Bagus," Bram masih terkapar dengan darah yang menggenang. Naomi histeris dan mengangkat kepala Bram, merangkulnya agar darah itu tak menjadi alir mengalir.
"Mas Bram ... Mas. Ya Tuhan-ku. Bram, tahan ya tahan," Naomi berkaca-kaca seakan tidak percaya.
Bram berusaha tersenyum. Terus begitu selama Naomi merangkulnya. "Bram kamu bisa. Kamu bisa."
Kini dia menangis.
"Mas Bram!!! Maafin aku terlambat! Mas Br—am ...."
"Ngga papa kok, dek" Bram menangkis tangisan itu.