Romawi meminta Bram untuk istirahat. Setelah itu dia izin pergi untuk mencari informasi dan bukti lebih lanjut. Bram bersandar dan menanti mimpinya tiba, memberikan bumbu tenang pada dirinya yang semalaman tersiksa.
Keesokannya . . .
Bram membuka matanya kembali. Sebuah gelas berisi air teh menunggu untuk diminum. Bram melihat jam—"sial udah jam segini? Gila." Dia menyadari dirinya tidur lebih dari 24 jam.
"Lu pingsan atau apa? Haha, kalo lu mati ngga ada gunanya buat gue."
Bram menatap Romawi jengkel, "Terus kenapa lu ngga bangunin gue?"
"Lu itu korban tabrakan. Bisa aja ada luka dalam, gue ngga mau ambil resiko. Kalo lu mati ya jasadnya bisa gue buang ke Sungai."
"Serius?" alis kanan Bram memuncak dengan rasa penasaran.
Romawi berhenti minum. Dia membalas pandangan Bram pada dirinya.
"Ya udah kalo ngga percaya–meminum kembali–gue udah jujur. Ngomong-ngomong mau ke mana kita?" Romawi bingung.
Dada Bram mendadak berdebar kencang. Nafasnya sangat cepat tapi dia bisa mengatasi itu. Bram mencoba berdiri—satu kaki, dan dua kaki. Dia kokoh sekarang.
"Ivii. Pacar gue. Kita ke Perumahan Barat." ujar Bram.
"Woh, orang kaya ya? Yang gue tahu manusia yang tinggal di barat itu makmur." Romawi menyindir.
Kota ini memang maju. Tapi ketimpangan ekonomi cukup signifikan di sini. Walaupun setiap orang memiliki properti pribadi layak huni tanpa ada sampah dan sebagainya. Kehidupan mereka hanya bisa membeli satu beras untuk 3 hari.
Bagian Timur Kota Hutan adalah pusatnya kelompok sosial yang beragam, namun ekonomi mereka kurang baik. Berbanding terbalik orang di wilayah Barat. Orang di Barat identik dengan sifat Naif. Tak jarang mereka sering melakukan sensasi lalu berujar seolah-olah merekalah yang paling menderita. Bagi orang di wilayah Timur, ini adalah "Panggung Komedi," karena mereka selalu berkata,
"Tahu apa mereka tentang kemiskinan dan perjuangan dari bawah?"
Sangat lucu.
Bram menarik ikat pinggang itu kuat-kuat. Merasakan banyak luka yang ia dapati tapi bisa dia tahan. Untuk sementara waktu.
Bram memasang baju yang ia pakai sewaktu pertama kali ke Kantor, "Romawi, lu yakin bisa bantu gue?"
"Gue bukan bantu lu. Tapi ngebantu keadilan dan negara. Ayo pergi."
Ganggang pintu digenggam kuat, membuka kesempatan bagi udara segar untuk menyambut kembali manusia ini ke alam liar. Kedua pemuda ini berjalan melintasi lorong dan menuruni gedung dengan Lift.