Ivii seakan tidak percaya. Pandangannya meleleh dalam suasana. Tidak ada yang dapat menganggu mereka, sekalipun Romawi yang terlihat kikuk. Sesegera mungkin dia memeluk Bram dengan penuh semangat.
"Bram!" jerit Ivii.
Bram balas terkaget-kaget, "EHH?!!"
Romawi yang menyaksikannya ikut melotot karna melihat Ivii melakukan pelukan itu. Ivii tidak tahu bahwa tubuh Bram memiliki banyak luka. Romawi berusaha menolong, "Nona, aduh!?—"
"Sayang, aduh. Sakit... Badanku sakit," Bram memelas.
Ivii mendadak melepaskan pelukannya karna tidak mengetahui luka yang dimiliki Bram. "Maaf, sayang. Aduh ngga papa? Kamu kemana aja? Dari mana? Terus kenapa Naomi masuk Rumah Sakit? Hmm... Ini siapa?"
Romawi mengangkat alis matanya menatap Bram. Mereka berdua saling menatap dan memberikan kode pria. "Aku bakal jawab semua pertanyaan kamu tapi izinin aku masuk dulu, ya," ucap Bram sembari mencubit pipi Ivii.
"I—iya, sayang. Masuk aja. Mas, silakan," mempersilakan Romawi masuk.
Mereka berdua akhirnya masuk ke dalam rumah. Suasana hangat dengan interior yang terlihat mahal. Romawi memandangi semua peralatan rumah yang pastinya mahal. Selama memasuki rumah itu Romawi hanya berkata, "Kudu korupsi kalo mau beli rumah beginian. Pake gaji gue 10 tahun pas jadi Polisi kemarin juga kaga cukup."
"Sayang, Ibu mana?" tanya Bram.
"Ibu pergi, Sayang. Ada rapat pemilik saham. Dia harus datang." Bram mengambil minum.
Ivii ke dapur sebentar membiarkan mereka duduk di ruang keluarga. Selagi Ivii mengambil minum, Romawi terus terpukau dengan rumah ini. Dia berkelakar bahwa gaji seorang Polisi tidak akan cukup membeli rumah mewah ini. Kecuali dengan cara busuk, yaitu korupsi.
"Aduh gila, badan gue sakit. Hm—lu kenapa, Rom?"
"Hah? Oh, ngga ada. Gue cuma takjub. Gue selalu berharap bisa jadi orang sukses dan beli rumah mewah. Gue kira jadi Polisi itu mapan, semua terjamin. Ternyata ngga juga," Romawi tersenyum.
Bram ikut tersenyum. Dia juga memberikan komentarnya mengenai rumah ini.
"Kalo gue udah nikah sama Ivii. Gue ngga mau tinggal di sini. Gue mau ajak dia belajar hidup dari bawah. Gue yakin 10 tahun kedepan hidup gue bagus," harap Bram.
"Iya, aku denger. Aku ngga keberatan kok," Ivii muncul dari belakang membawakan minum. Lalu membaginya ke dua orang ini. Mereka mulai duduk dan mulai serius membahas rencana dan niat mereka ke sini.
"Sayang, kamu harus jelasin sekarang. Aku ngga mau kamu ngilang gini lagi. Mana Naomi masuk rumah sakit, dan kamu itu ngga ada di mana-mana. Ponsel ngga aktif juga," lagi-lagi Ivii mengomel dengan semangatnya.
"Sayang–mengelus kepala Ivii–gini, ya. Kemarin ada peristiwa, kantor aku diteror. Singkatnya aku dihajar sampai babak belur gini," Bram menjelaskan dengan Ivii yang mulai khawatir.
"Astaga, terus kamu—" Bram memotong, "Iya aku selanat. Naomi nyelamatin aku. Pokoknya kami diserang oleh sosok pria yang memakai Topeng aneh, biasa disebut Majordomo oleh masyarakat sekitar. Aku sama Naomi berhasil keluar. Tapi mobil kami ditabrak dari samping dan beginilah badanku," Bram menunjukan badannya yang membuat Ivii kaget, Bram menyambungkan, "Terus Romawi nyelamatin kami berdua."