Fazi yang diangkat oleh Bram dan Romawi menurunin tangga tidak kunjung sadar. Bram masih memiliki dendam yang teramat dalam dari pengakuan si Fazi. Romawi mengoceh sepanjang jalan mengenai keterlibatan aparat dalam hal-hal yang semestinya mereka perangi.
Satu demi satu tangga mereka turuni. Merasakan dinginnya gedung itu kala kosong melompong tanpa seorangpun tahu ada apa di dalamnya.
Romawi merasakan pegal. Dia berhenti sejenak dan meletakan badan Fazi di lantai tempat mereka beristirahat.
"Bram, kenapa dia?" tanya Romawi.
Bram terduduk lemas. Matanya tak henti berkedip memandang lirih Fazi yang telah dianggapnya seperti saudara. Berbeda dengan Daenil yang menjadi seorang sahabat, Fazi adalah teman satu kampung. Walau mereka tidak begitu dekat, namun keterikatan mereka sebagai pemuda satu kampung sangat solid.
"Dia yang pertama kali ngasih tahu kalo Pak Gani diculik. Dia yang ngasih tahu semua sampai kami panik," jawab Bram.
"Yang Naomi itu gimana? Kok gue lihatnya lu itu sering banget nyebut nama dia? Bahkan cewek lu pun tahu. Dia adik lu?" Imbuh Romawi.
Bram sedikit tertawa lemas, "Ya ngga. Dia temen gue. Tapi usianya terbilang muda banget untuk dunia kerja."
"Berapaan?"
"19 tahun. Emang sih tuh anak pinter, gue udah tahu bakatnya."
Romawi mengelap keringatnya dan kembali bertanya, "Cuma itu aja? Kayanya dia spesial banget?"
"Dia emang spesial. Gue anggap dia adik gue. Dia yang bantu gue menang di Pengadilan karna mengusut kasus Nepotisme beberapa waktu lalu." jelas Bram.
"Oh, gue cuma pernah denger aja. Tapi ngga gue ikutin banget. Yang jelas nama lu tenar," guyon Romawi.
Mereka tertawa sejenak dan memikirkan bagaimana selanjutnya mengurus pengkhianat satu ini.
"Gimana cara lu tadi? Live Streaming Instagram gitu?" kata Romawi.
"Bisa dibilang. Tapi nanti, sebelum itu kita introgasi. Lu pasti tahu caranya kan? Kita rekam setiap apa yang dia omongin. Publik mesti tahu." jelas Bram.
"Bram, Bram. Lu yakin? Inget ngga yang terjadi pada dekade 2010-an? Internet pernah dimatiin sama Pemerintah. Kala itu kita sedang di ujung tanduk. Masa mau meriksa terduga koruptor kudu izin?" Romawi ragu.
Sambung Bram, "Ya ngga lah. Kita kudu berani sekarang, main kita harus lebih cepat."
"Gue ikut aja. Yang pasti gunakan koneksi lu sebagai Jurnalis untuk menyebarkan kebenaran."
Bram mengangguk. Mereka berdiri dan menyiapkan tenaga untuk mengangkat kembali orang ini.
Bram dan Romawi bergerak perlahan. Sampailah dibawah dan mendobrak pintu tadi. Keadaan masih sama tanpa ada orang satupun. Mereka melewati jalan belakang, dan Bram menggunakan kunci mobil tadi untuk memanggil mobilnya.
Mobil tadi langsung datang dengan otomatis dan berhenti tepat di depan Bram. Mereka memasukan tubuh Fazi dan mengikatnya, Bram sedikit legah karna bisa keluar dari gedung itu lagi.
"Gue nyetir," kata Bram.
"Boleh, gue juga pegel."
Mereka pergi meninggalkan gedung. Dan melanjutkan perjalanan menuju Barat. Sepanjang jalan mereka menemui banyak Polisi dan para demonstran yang mendesak gerbang segera dibuka.
"Kebanyakan dari mereka ini orang miskin yang takut jadi korban kericuhan atau semacamnya. Kasihan," ucap Bram.
"Ya iyalah, gerbang ditutup berarti lagi ngga baik-baik aja. Mereka disini cuma mau hidup tapi sering konflik sama masyarakat kelas menengah keatas," Romawi memandangi kerumunan orang.