Mobil berjalan mendekati gerbang. Pak Indra kebetulan berdiri di depan pintu. Pak Aprik tidak ada ditempat seperti biasa.
Bram membuka jendela dan meminta izin untuk masuk, "Halo, Pak. Ini saya, Pak. Tolong buka gerbangnya, Pak."
Pas Indra kaget dan membalas, "Oh, iya, silakan." Pak Indra membukakan gerbangnya.
"Makasih, Pak. Loh? Di mana Pak Aprik, Pak?"
"Dia lagi beli makanan. Nah itu dia," jawab Pak Indra.
"Mari Pak," sahut Bram.
Mereka sukses melewati gerbang tanpa hambatan apapun. Romawi meminta Bram sesegera mungkin mempercepat laju mobilnya karna tidak tahan untuk mengintrograsi Fazi.
"Gue kesel banget sama nih anak. Lu berapa lama sih temenan sama dia, hah?" Romawi mengangkat sebelah alisnya.
"Hm ... Dari kecil sih. Ya biarinlah, nanti kita buat dia ngaku."
"Astaga sabar banget lu."
"Ya gimana, dulu dia ngga gitu kali. Baru ini."
Mobil mereka berhenti didepan rumah Ivii. Bram keluar mobil dan membuka pagar. Pagar terbuka, Bram kembali ke mobil dan memasukannya ke dalam bagasi.
Ivii juga keluar dari pintu depan dan menanti mereka selesai.
"Sayang, kamu ngga papa kan?" Ivii khawatir.
"Iya, sayang ngga papa kok," sembari mengangkat jempolnya.
Romawi membuka pintu belakang dan mengeluarkan badan Fazi yang berat itu. Dia meminta bantuan Bram. Mereka mengangkatnya dan memasukan badan Fazi ke dalam rumah. Ivii kaget bukan main, "Sayang! Itu siapa? Kamu apain dia?"
"Fazi, sayang. Udah, ayo masuk. Ntar aku kasih tahu."
Ivii mengiyakan lalu memerintahkan AI-nya bekerja, "Orion, tutup gerbang. Dan perketat keamanan setiap rumah."
"Baik, Ivii. Permintaan diproses," jawab Orion.
Fazi tidak kunjung bangun. Adalah hal yang bagus untuk Bram dan Romawi karna mereka tak perlu susah payah memaksa Fazi masuk.
"Kamu udah perketat keamanannya?" Tanya Bram pada Ivii.
"Sudah, Bram. Kamu mau bawa dia kemana?" Bram membalas, "Di ruang bawah tanah. Di sana aman."
Ivii berjalan lebih dulu ke depan dan mulai menggerakan tangannya tanda perintah, "Baik, tunggu ya. Orion, aktifkan sistem pendingin di ruangan bawah tanah."
Lampu tangga menjadi biru tanda salah satu ruangan tengah didinginkan.
Rumah itu terlihat megah dan canggih. Satu persatu langkah melewati langkah berikutnya. Mereka memasuki sebuah pintu dan menuruni tangga sedikit. Didepan mereka telah ada lift yang menunggu. Pintu terbuka dan mereka masuk untuk membawa raga ini ke tanah terdalam.
"Bram, tenang aja. Semuanya udah aman. Jangan ngos-ngosan gitu deh," guyon Ivii.
"Kamu ngga tahu aku abis ngapain tadi," Bram jengkel.
Lift terus bergerak dengan suaranya yang halus. Membawa kesan mabuk bagi Romawi yang telah lama tidak menaiki angkutan kecil ini.
Merek sampai di dasar. Oksigen di sini tersedia dengan bekal makanan yang cukup untuk 5 tahun. Beberapa obat-obatan memenuhi ruangan ini guna melengkapi fasilitas yang ada.
"Gue ngga nyangka, rupanya orang kaya seperti kalian nyimpan banyak persedian. Pantes aja banyak orang miskin yang mati," ucap Romawi.
Ivii membalas argumen itu dengan jawaban yang baik, "Kita tinggal di kota yang masih rentan. Jarak antara si kaya dan si miskin bisa bikin konflk yang berkepanjangan. Kita ngga mau jadi korban untuk '98 Vol. 2'. Kami ngga mau."
Jawaban itu diterima Romawi dengan kepala mengangguk.
Bram dan Romawi menaruh Fazi di sebuah bangku. Dengan ikatan ganda tentunya. Agar dia tidak bergerak dan tidak melawan.
"Oke, makasih sayang. Kamu lebih baik ke atas, biar dia ngga tahu kamu di sini. Oh iya, jaga diri kamu ya," Bram mengecup kening Ivii dengan amat lembut.
Ivii tersenyum, "Iya, nanti aku bawain makanan ya. Di sana ada pintu darurat," ucapnya.
Ivii kembali lagi dan memegang kepala Bram, dia membisikan sesuatu di telinga Bram.