Romawi masih menahan Bram yang terpukul. Bram memaksa diri untuk menolak itu semua. Fazi menambahkan penderitaan dengan ucapan yang membabi buta. Tidak ada yang menyangka Bram begitu emosionalnya, menjadi monster sangat menjijikan.
Seorang wanita yang dia hormati karna kelak akan menjadi mertuanya ternyata adalah otak dibalik ini semua. Bram kembali meminta Fazi untuk jujur. Namun itulah adanya. Tetap pada realita yang tak bisa diubah.
"Siti Derana? Maksud lu dia ibunya cewek lu, Bram?" Romawi linglung.
Bram semakin agresif ingin memintai banyak kejelasan. Tapi karna begitu masif tubuh Bram melawan, Romawi terpaksa mendorong keras hingga Bram terjatuh.
"Bram! Woi! Santai napa? Jelasin ke gue, Bram. Tenang lu nya," pintah Romawi.
Bram terduduk lesu. Hari-harinya sangatlah buruk. Menjadi korban fisik tidaklah cukup sampai dia menjadi korban serangan mental. Dia berusaha menahan kesalnya dengan irama jantung yang teramat kacau.
Fazi membentak, "Calon mertua lu adalah elit yang membawa kesengsaraan, Bram. Lu pikir kenapa perbedaan antar kelas begitu lebar di sini? Mikir, Bram. Ngga ada yang bisa dipercaya di kota ini!"
Mendengar itu Bram berusaha mengambil barang apapun di dekatnya untuk dilemparkannya ke kepala Fazi.
"Bangsat, banyak bacot banget lu–melempar gelas plastik–, mending lu diam!" Bram ngamuk.
"Udah, Bram, udah! Jangan lu dengerin. Bisa aja dia bohong. Eh lu diem ngga, ngaku lu–menjambak rambut fazi–sekarang!" Ancam Romawi.
"Aarghhh! Ng—ngga ada yang perlu diakui, bego. Gue bisa tebak. Sekarang kita berada di rumah Ivii, ya kan?" Fazi menebak dengan gigi menggigit bibir.
"Tau dari mana lu? Lu ngintip hah?" Tanya Romawi.
"Hahahaha, jangan bodoh. Cuma orang kaya yang punya ruangan bawah tanah. Gue tau pacarnya Bram adalah orang kaya. Haha!" Ujar Fazi.
"Iya," Bram berkata.
Romawi melepaskan jambakannya dan menengok ke arah Bram. Dia berdiri dan mendekatkan diri membiarkan Fazi tergeletak.
"Apa, Bram? Apa?" Ucap Romawi.
"Iya, bener. Dia tau siapa Ivii. Dia bener, Siti Derana adalah elit di kota ini. Salah satu orang kaya paling berpengaruh. Dia pendiri perusahaan yang sukses. Gue ngga habis pikir," ujar Bram.
"Bentar. Maksud lu? Oh astaga. Berarti bener dugaan gue, pemerintah beneran kerjasama dengan pengusaha licik? Dan itu ...," Romawi terhenti.
Bram melanjutkan, "Fatereon. Siti Derana pendirinya."
Romawi memegang kepalanya sambil tersenyum. Dia berdiri memahami apa yang barusan terjadi.
"Jadi ... Jadi lu tahu, Bram kalo Ibunya Ivii terlibat akan hal ini? Hah? Lu menutupi semuanya?"
"Gue ngga tahu sama sekali. Gue ngga yakin karna Ibunya emang lama ngga aktif lagi jadi pebisnis," Bram mematung.
Dari belakang Romawi si Fazi mengoceh lagi, "Bram, negara ini udah kacau. Ngga ada yang bisa diperbaiki. Kita yang banyak mengkritik pemerintah adalah orang pertama yang mereka incar," lanjut Fazi, "Mereka ngga suka mendengar suara rakyat. Lu harus ikutin permainan mereka kalo mau hidup tenang, Bram."
"Terus kenapa bisa-bisanya Bu Siti ikut-ikutan?" Romawi penasaran.
"Karna harta dan kekuasaan. Lu bisa tanyakan sendiri ke dia. Gampang. Bram ... mereka bakal ngincar lu. Bakal ngebunuh lu. Mohon Bram, tinggalin semua."
Suasana hening. Tidak ada suara lagi setelah itu. Romawi menyadari ada yang salah dari semua ini. Barangkali pikirannya tertuju pada apa yang akan mereka lakukan. Menjadi pahlawan bagi lawan yang sulit untuk mereka kalahkan.
Bram berdiri. Dan mendekati monitor hologram. Membuka sambungan telpon dan menekan-nekan setiap tombol navigasinya. Romawi tidak bisa berbicara banyak. Dia hanya melihat apa yang akan Bram lakukan.
"Orion, sambungkan pada Ivii."
Loading ...