Pesawat mini mirip helikopter ini berbalik arah dan melesat ke arah tembok besar. Kala itu langit berwarna gelap pertanda akan terjadi hujan.
"Lu mau kita kemana?"
"Ke tembok itu." kata Bram.
"Bram, kita jangan ke sana. Kita bisa ditembakin. Terlalu mencolok, Bram. Lu dengerin gue. Kita turun dan cari perlindungan," lanjut Romawi, "Jangan ngikutin dendam lu dulu."
Pesawat itu perlahan menurunkan ketinggian. Mata Bram yang merah tidak bisa menahan amarahnya. Romawi yang mengemudikan mencari tempat aman dan sepi untuk mendarat.
Segala yang ada sudah maju. Sekarang zaman di mana teknologi seperti itu adalah mainan semata. Hanya saja harganya masih mahal.
Pesawatnya mendarat disuatu tempat dengan halaman luas. Didepannya terdapat rumah besar dengan pemandangan yang tertutup. Rumah itu sepertinya telah disita, terlihat dari garis polisi melingkari setiap bagian rumahnya.
Bram dan Romawi mendarat. Mereka masih terdiam dan tentunya Bram tidak bisa melupakan itu. Romawi menyesalkan segalanya tapi yang paling dia sesalkan adalah terbunuhnya Fazi.
"Gue tahu lu sedih. Tapi inget, Bram. Fazi udah mati. Kita ngga punya bukti lain selain memori kita sendiri."
Bram masih terdiam mendengar omongan Romawi.
"Bram, kita kayanya udah kalah. Waktu kita tipis, Bram. Kericuhan di mana-mana. Mungkin bener kata Fazi. Kita kudu ikut permainan mereka," ucap Romawi.
Bram tersadar, "Ngga. Kita masih bisa melawan."
"Caranya? Lu sadar deh. Semuanya ada di rumah itu. Kita kalah," ujar Romawi.
"Ngga Rom. Kita masih ada Anoia."
Romawi bingung, "Hah? Maksud lu? Asistem rumah lu itu? Dia punya apa?"
"Rekaman introgasi kita ke Fazi tadi."
Romawi semakin bingung. Dia memegangi ganggang pintu.
"Bentar ... Maksud lu? Apa sih?"
Bram mengusap matanya. Dia melihat setiap butiran air yang jatuh dari dalam pesawat. Gerimis telah dimulai, bagi Bram tanda ini adalah bukti alam menangisi kepergian kekasihnya.
"Bram! Jawab," kata Romawi.
"Apa?! Iya gue kasih tahu—Pada saat gue ngambil pisau. Gue mengatur Orion untuk merekam semua percakapan kita. Apapun yang terjadi, semua data akan dikirim ke Anoia."
"Cerdas banget!" Puji Romawi.
Bram menambahkan, "Sekarang kita bisa melawan. Tapi kita harus ke Rumah gue, kita pindahin semuanya."
"Terlalu berbahaya, Bram. Lu dan gue adalah buronan sekarang."
"Ya terus gimana? Cuma itu yang kita punya."
Romawi tersenyum bangga, "Ey, bukannya semua data dari rumah bisa dikirim ke ponsel lu ya?"
Bram terbangun dari kursinya. "Oh iya!"
"Tapi ngga bisa selama rumah gue masih ada. Butuh respon ancaman untuk memproses data agar bisa dikirim, tanda situasi darurat," Bram kembali tersandar di kursi.
"Tapi gue tahu caranya," ungkap Romawi.