Seorang wanita parubaya berjalan membuka pintu. Dihadapannya berdiri beberapa orang dengan pakaian lengkap dan lencana menandakan bahwa mereka adalah orang penting.
Wanita ini berjalan dengan santainya tanpa ada beban apapun. Dia memutari mereka seperti seorang kakak kelas yang ingin membina adik kelasnya.
Wanita itu adalah Siti Derana. Dan di sekelilingnya berdiri para pejabat serta petinggi kepolisian.
"Apa tugas kalian, para Bapak Ibu yang saya hormati?" Ujarnya dengan mata sayunya.
Tidak ada yang menjawab. Mereka berdiri kaku seraya menelan setiap ludah di mulutnya. Para ajudan tidak bergeming, namun ada satu yang berjalan maju untuk memberikan pendapat.
Siti Derana menegakan kepala berharap orang yang maju ini tidak mengecewakannya. Dia duduk di kursi untuk menyimak apa yang akan dilakukan seorang ajudan ini.
Pria itu mengencangkan dasinya, "Siang, Nyonya, kota sudah ditutup. Tinggal menunggu intruksi."
Lalu dia mundur perlahan. Siti sepertinya tidak menginginkan itu. Terlihat dari raut wajahnya yang tidak simetris.
"Berapa banyak uang yang saya keluarkan? Berapa banyak hutan yang saya tebang? Berapa banyak orang yang berbohong demi rencana kita?" Tanya Siti pada seluruh orang di ruangan itu.
Lagi-lagi tidak ada yang menjawab. Mereka menunduk seolah-olah dihadapan mereka adalah seorang Presiden.
Dia melanjutkan, "Anda masih tidak mampu mengurus satu gedung saja? Pantas kalian di sini."
Salah seorang pria kurus dengan batik membawakan sebuah asa untuk menjadi pembelaan bagi dirinya dan mereka di dalan sana.
"Kami tidak mengerti, semua rencana telah dilaksanakan. Untuk apa kita terganggu dengan satu orang yang bahkan tidak jelas di mana bayangnya?" Ucap dia.
Siti menggeram, "Bodoh! Dia punya informasi. Bram bukanlah orang seperti Anda! Walau saya tidak begitu menyukainya tapi saya yakin dia adalah orang cerdas."
Tambah satu orang berpakaian Polisi dengan lencana menggilap bergabung pada obrolan, "Saya tahu dia berbahaya. Tapi kami akan mengurusinya, Nyonya. Anda tidak perlu khawatir." Dia memandang Siti dan lanjutnya, "Tidak ada yang akan mampu keluar dari kota ini. Sesampainya semua selesai, kita semua tidak perlu khawatir."
Siti meninggalkan kursinya dan berjalan menuju pintu dengan perlahan. Yang lain melirik wanita ini. Entah apa dengan pandangan buruk atau baik.
Dia memegang ganggang pintu dan mengatakan sesuatu, "Kita harus selesaikan rencana kita. Seimbangkan kota agar tidak ada lagi perbedaan kelas yang mencolok. Tolong, saya mengharapkan kalian semua."
"Baik, Nyonya!" Jawab mereka serentak.
Dia membuka pintu dan meninggalkan ruangan. Wanita ini tidak tersenyum sama sekali. Dengan dinding merah marun yang gelap tetap tidak membuat wajahnya bercahaya.
Sementara itu di dalam ruangan para pejabat dan petinggi mulai berdiskusi.
"Bram itu bahaya. Kita ngga bisa biarin dia bebas gitu aja. Pasti dia punya rencana. Apapun itu, kita semua terancam," kata Pak Yose, salah satu pengusaha sawit.
Seorang Wakapolri menyambutnya, "Info yang saya dapat, dia sekarang lagi ada di pemukiman padat penduduk. Dua orang suruhan sedang mengejarnya. Terlebih lagi dia bersama seorang yang mengaku sebagai mantan Polisi."