Awan mendung mengatakan pada kota tentang duka yang sedang melanda.
Salah satu kru mengatakan pada Romawi bahwa mereka harus mengudara untuk dapat membawa berita kepermukaan. Kondisi kota sedang kacau, berita dari Bram akan membuka mata publik di penjuru negeri.
"Bram, lu ngga boleh gini. Lu harus siaran sekarang," Romawi menepuk pundak Bram.
Bram masih belum mau bangun. Dia terus menutup wajahnya, rasa pedih itu semakin dalam dan dalam.
Romawi menyadarinya. Seorang Pria bertopeng tadi membuka pintu dan meminta mereka cepat. Romawi yang melihatnya kemudian merespon, "Pak, maaf, kam—"
"Kami akan mengudara." Kata Bram.
Dia telah terbangun dan sadar seutuhnya. Bram berusaha tegar menghadapinya. Romawi kagum.
Sontak para semua orang dalam studio bersiap untuk mengudara.
Kameramennya menjalankan tugasnya,"Baik, Mas, ready? Oke, kamera, siaran akan dimulai dalam hitungan, 3, 2, 1..."
Kini wajah Bram terpampang di penjuru negeri.
"Salam, Kota Hutan. Mohon perhatiannya sebentar."
Suara Bram menghentikan beberapa kegiatan. Ribuan massa yang melakukan penjarahan serta kericuhan dengan aparat terkait berhenti sejenak.
Layar lebar itu memperlihatkan wajah Bram. Wajah dengan masalah yang teramat besar. Air matanya tidaklah jatuh. Namun auranya tetaplah abadi.
"Kota kita sedang mengalami krisis hebat. Kota yang kita cintai ini adalah kota yang teramat indah," Lanjutnya, "Mohon perhatikan apa yang tengah kalian lakukan. Apa yang kalian lakukan? Sebagian besar kita ada untuk hidup."
Bram menatap kamera. Harap-harap publik mendengarkan.