Antonio Suparno baru saja kembali dari berbelanja di toko Jaya Abadi di samping kos dan menenteng satu kantong besar camilan. Di hari Minggu yang panas dan lembab, lelaki muda ini hanya mengenakan celana selutut dan kaos tipis yang saat ia menaiki tangga mulai basah oleh keringat. Ia bernyanyi riang sembari sedikit bergoyang, menandakan bahwa hatinya sedang bahagia. Ini adalah hari bersantai.
Bekerja 6/7 sangat melelahkan dan Antonio Suparno membutuhkan waktu bersantai. Menikmati hari Minggu hanya dengan rebahan, sedikit olahraga, dan menonton film ditemani cemilan adalah cara menjaga kewarasan yang murah, sederhana dan menyenangkan. Meski sebenarnya ia sesumbar bahwa pilihannya menjalani hari libur mingguan merupakan jalan seorang bijak. Manusia muda boleh saja bekerja keras demi mendapatkan kekayaan dan menggenggam kesuksesan. Namun, menikmati waktu tanpa bekerja untuk perusahaan orang lain hanya satu hari dalam seminggu adalah hak asasi manusia.
Antonio Suparno sedang menikmati camilan dan menonton film Asia berjudul “My Mongolian Mother” dengan khidmat saat pintu kamar kosnya diketuk. Hanya sekali ketukan dan Antonio Suparno mengabaikan suara itu yang dianggapnya sebagai rambatan gelombang suara dari kamar sebelah. Ia kembali mengalihkan perhatiannya pada layer televisi dan menikmati film tersebut ke dua puluh kalinya.
“Tok tok!” pintu kamarnya kembali diketuk.
Antonio Suparno melemparkan remote televisi dan camilan berupa keripik singkong rasa keju dari tangannya, lalu setengah berlari menuju pintu. Dengan sopan ia membuka pintu, berharap siapapun yang hendak bertamu tak kecewa menunggu.
“Ya!” Katanya sembari membuka pintu dan melongokkan kepalanya ke luar.
Lho, ternyata tidak seorang pun berdiri di depan pintu atau di sekitar teras. Apa mungkin peri jahil yang mengetuk pintu? Atau Antonio Suparno mendengarkan suara khayalan dari dalam kepalanya sendiri sembari celingak celinguk. Rasa penasaran yang mendadak menyusup ke dalam dirinya hanya dijawab kesiur lembut angin sore hari yang membelai rambutnya.
Pohon cempaka di halaman kos menari gemulai, menggugurkan sejumlah kelopak putih dengan wangi magis yang seketika membuat Antonio Suparno merinding. Tidak pernah ditemuinya pohon cempaka di seantero Jakarta selain di halaman kos bernama Sembilan Naga tempatnya tinggal sejak 3 tahun lalu. Pohon cempaka itu ramping berdaun lebar dengan bunga yang sering mekar malu-malu.
“Mungkin aku terlalu lelah sampai berkhayal yang aneh-aneh,” Antonio Suparno bergumam pada dirinya sendiri. Ia memutuskan untuk menutup pintu dan melanjutkan keasyikan bersantai dalam dunianya sendiri.
Namun, saat hendak menutup pintu, ekor mata Antonio Suparno melihat sebuah amplop berwarna merah muda sebesar telapak tangannya tergeletak di atas keset. Suasana kos hening, selain suara dari televisi di lantai dasar tempat penjaga kos bersantai, dan suara dari televisi di kamarnya sendiri. Ia membungkuk dan mengambilnya. Setelah memastikan bahwa tidak ada seorang pun yang menunggunya, ia menutup pintu dan memperhatikan amplop itu dengan mengarahkanya ke lampu bulat putih di langit-langit kamarnya. Antonio Suparno menyipitkan sebelah matanya, seolah-olah sedang meneliti sesuatu sebelum membukanya. Ia mengira amplop itu bisa tembus pandang.
“Hmm,” Antonio Suparno berdehem sembari menuju sofa dan meletakkan amplop merah muda tersebut di atas meja.
Antonio Suparno mengambil kembali bungkus keripik yang tadi ditinggalkannya, menyandarkan punggungnya ke sofa, mengambil satu persatu lembaran keripik, memasukannya ke mulutnya dan mengunyahnya pelan dengan wajah kebingungan. Sebenarnya, ia merasa deg-degan sekali mengenai apa isi amplop itu. Lagipula ini tahun 2019, mana mungkin ada seorang perempuan yang mengirimkan surat cinta. Ekspresi cinta di zaman digital tidak serepot era surat menyurat.
“Hemm,” Antonio Suparno berdehem lagi.
Kening Antonio Suparno berkerut. Ia memakan keripiknya dengan lambat, bagai seorang lelaki tua yang telah kehabisan gigi. Kedua matanya masih terus memperhatikan amplop merah muda tersebut dan berusaha menebak apa isinya. Lagipula, ia tidak melihat si pengetuk pintu. Antonio Suparno berpikir bisa saja amplop ini sebuah surat penting bagi tetangganya, namun tukang pos salah mengenali nomor kamar dan pergi begitu saja.
“Oh, mana mungkin! Ini kosan elit satu pintu dengan pengamanan super ketat. Mana bisa tukang pos masuk!” Antonio Suparno terkejut dengan kata-katanya sendiri, mengangkat punggungnya bagai menegakkan sebongkah kayu, lalu termenung.