Ke Biha-Biha Bukan Tanah Jahannam

Wijatnika Ika
Chapter #2

Mata Biru

Antonio Suparno lahir tahun 1989. Di hari kelahirannya langit begitu tenang dipenuhi bintang-bintang kecil berkilauan dan purnama yang bulat sempurna bagai lampu raksasa. Manusia kecil ini melakukan perjalanan dari alam rahim rahmati yang sempit dan gelap menuju dunia bernama Bumi pukul 12.30 malam, tentu saja dengan bantuan dukun bayi paling popular di kampung orangtuanya, Samina. Kelahirannya begitu mudah dan bahkan tidak membuat ibu yang mengandungnya harus menjerit-jerit sebagaimana perempuan melahirkan pada umumnya.

Samina hanya perlu mengejan sedikit lebih keras layaknya sedang beol dengan taik sepadat batu kali karena kurang makan sayuran dan buah-buahan. Di dalam lubuk hatinya, Samina sempat mengutuk dirinya sendiri karena selama hamil terlalu banyak makan sambal ikan asin dan tumis genjer. Sembari mengejan dan banjir keringat di sekujur tubuhnya, Samina berdoa dengan tulus dan pasrah semoga kelak anaknya tidak akan menghabiskan sepanjang hidupnya dengan memamah sambal ikan asin berbau busuk yang mungkin menyebabkan korengan menahun. Anak yang dilahirkannya harus makan makanan orang-orang kaya seperti steak daging sapi, ikan salmon dan mungkin wine termahal di muka bumi buatan orang Eropa yang pelit.

Usaha terakhir mengejan yang banjir keringat itu berhasil. Seorang bayi dengan wajah yang indah lahir tanpa tangisan. Sepasang matanya tertutup, namun bibirnya tersenyum. Ia bayi lelaki. Samina tertawa seketika dan tahu ini sebuah keajaiban.

“Antonio Suparno,” katanya kepada si dukun bayi dan ibunya yang terbengong. Baru kali ini mereka melihat bayi merah yang tersenyum manis saat dilahirkan.

“Hah, Tio Suparno?” tanya sang dukun bayi dengan kening berkerut.

Perempuan berusia senja itu masih menimang bayi mungil nan tampan itu dengan kedua telapak tangannya dengan pandangan takjub. Sekujur tubuhnya berkeringat dingin karena kelelahan. Meski begitu, ia merasa takjub pada dirinya sendiri karena berhasil membawa si bayi mungil tampan bermata biru dengan selamat menuju dunia.

“Antonio Suparno, nama bayiku,” kata Samina lagi, memastikan kehendaknya.

“Kita orang Jawa. Lha, Antonio ini nama siapa? Kalau Suparno masih bisa kan itu nama Bapakmu,” ujar ibunya, Mak Karmilah.

“Antonio itu nama orang Spanyol, nama bapak bayiku ini. Suparno ya nama Bapakku sendiri. Biarlah nama kedua lelaki dalam hidupku menyatu dalam dirinya. Yang penting anakku tidak akan menghabiskan seumur hidupnya makan sambal ikan asin,” Samina tersenyum senang melihat bayi mungilnya yang tampan.

Samina masih lemas dan nafasnya menderu selepas melawan maut demi melahirkan putranya. Sekujur tubuhnya basah oleh keringat dan selangkangannya lengket oleh darah nifas. Kedua tangannya gemetaran saat merapikan anak-anak rambut yang basah di kening dan pelipisnya. Ia tersenyum kecil, Bahagia.

“Untuk apa kamu menamai bayimu dengan laki ndak punya tanggung jawab?” tanya Mak Karmilah kesal dengan suara keras.

“Ya ampun, Mak. Bayi ini anaknya Antonio. Biar nanti yang mengejeknya sebagai anak jadah setidaknya bisa tahu nama bapaknya dan melihat rupa bapaknya dalam wajah anak ini,” Samina lagi-lagi tersenyum melihat bayinya.

“Berbuat dosa kok senang kamu, nduk?” Mak Karmilah semakin panas.

“Setidaknya aku bertanggung jawab, tidak membuat anak ini mati selagi masih segumpal darah. Kubiarkan dia hidup dan kuterima seluruh rasa malu ini sepanjang hidupku,” jawab Samina, membela seluruh perbuatannya.

“Apa semua orang Spanyol matanya biru? Anakmu ini matanya biru,” tanya si dukun bayi. Ia kagum dengan sepasang mata bayi kecil Antonio Suparno.

“Hmmm, ndak tahu lah. Si Antonio hanya sesumbar kalau dia orang Spanyol,” jawab Samina sembari menyandarkan punggungnya ke bantal, sementara Mak Karmilah membersihkan selangkangan Samina yang penuh darah. Juga mengganti pakaiannya yang bercampur keringat dan darah. Mak Karmilah tidak suka bau darah nifas anak semata wayangnya, bau sekali, mungkin karena ia terlalu banyak memberi Samina sambal ikan asin. Ini semacam bau orang melarat.

Mak Karmilah kesal bukan main pada Samina, anak satu-satunya dengan Suparno yang telah pulang ke alam baka. Karena ia dan Suparno begitu miskin, Samina terpaksa putus sekolah saat berusia 14 tahun dan menyambung hidup dengan bekerja serabutan di Bali. Orang yang menawarkan pekerjaan pada Samina menjanjikan masa depan cemerlang seterang matahari, karena toh Bali adalah tempat plesiran orang-orang asing dari seluruh dunia. Orang-orang asing yang berkulit putih, bertubuh jangkung dan bermata biru seperti penjajah Belanda sangat suka menghamburkan uangnya demi menikmati suasana di Bali yang ndeso. Orang itu juga bilang, bahwa orang-orang asing membuat Bali punya banyak lapangan pekerjaan untuk anak-anak muda seperti Samina.

“Samina ini akan kerja apa di Bali?” Mak Karmilah sempat khawatir.

“Wah banyak, Mak! Nanti Samina kursus memasak makanan Bali, nanti dia bisa kerja di restoran,” orang itu meyakinkan Mak Karmilah.

“Ya. Samina bisa memasak. Samina bisa belajar memasak masakan Bali,” Mak Karmilah menjadi yakin bahwa Samina akan mendapatkan pekerjaan bagus.

Lihat selengkapnya