Saat Antonio Suparno berusia 10 tahun dan belum pernah menerima kabar dari Samina yang katanya bekerja di Taiwan, robot-robot Jepang mulai memasuki kampung Angger. Ada tiga robot yang masuk setelah seluruh warga dikumpulkan di balai desa dan mendengarkan ceramah Pak Sugih sang Kepala Desa tentang upaya membangun kampung, agar sedikit maju dan warganya jadi sejahtera.
Mak Karmilah duduk dengan khidmat sembari memegang erat tangan Antonio Suparno yang ketakutan karena dipandangi orang-orang. Mendengar bahwa kampung Angger akan menjadi sejahtera dengan kedatangan robot-robot Jepang dan orang-orang bertopi warna kuning membuatnya sumringah. Di dalam kepalanya yang tua dan sederhana, Mak Karmilah membayangkan rumahnya yang sudah busuk bisa berubah berdinding semen, lantai keramik, dan ia tidak perlu menimba air. Mak Karmilah juga berkhayal bisa punya sepeda motor agar bisa jalan-jalan keliling kampung bersama Antonio Suparno, dan membuka rekening bank.
“Nah, nanti kita hitung semua warga mana yang tanahnya kena pembangunan, akan dikasih ganti rugi. Lumayan bisa beli rumah baru dan modal usaha,” begitu kata Pak Sugih menyemangati warga yang kemungkinan besar tanahnya kena imbas rencana pembangunan.
“Apa yang akan kita bangun? Jelas saja pabrik. Pabrik batu bara. Nanti warga kampung Angger bisa juga melamar kerja dan punya gaji bulanan,” kata-kata ini begitu membius banyak orang, termasuk Mak Karmilah yang bosan menjadi buruh tani.
“Wah! Nanti kita kerja pakai seragam dan buka rekening bank toh, Pak?” seseorang beteriak dengan antusias, membuat warga bertepuk tangan. Suasana menjadi riuh dan Mak Karmilah senang bukan main.
“Ya, tentu saja. Saya pastikan itu!” Pak Sugih mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi, menenangkan warga, sebab ia hendak bicara lagi.
“Kita ini harus bersyukur. Di Jakarta sana masih kacau karena demo dan bakar-bakaran tahun 1998 itu. Kita juga masih krisis ekonomi. Apa-apa serba mahal. Presiden kita yang baru, Pak Habibie pasti stress memikirkan nasib bangsa kita. Untung saja kampung kita aman, damai dan malah akan dibangun pabrik batubara,” Pak Sugih mengeluarkan sapu tangan dari saku celana kanan dan melap kedua matanya. Sepertinya sang Kepala Desa itu terharu dengan kata-katanya sendiri.
“Batubara itu apa, Mbah?” tiba-tiba Antonio Suparno menggoyang lengan Mak Karmilah dan membuyarkan khayalan indahnya tentang rumah baru dan sepeda motor.
“Mbuh lah. Tapi nanti, lek. Kalau ada pabrik batubara kita bisa punya rumah baru dan beli sepeda motor. Nanti Mbah kerja di pabrik dan gajian. Ndak jadi buruh tani lagi. Kamu bakal seneng toh?” Mak Karmilah mengusap kepala Antonio Suparno dengan senyum lebar dan sepasang matanya bercahaya.
Sebulan kemudian sekelompok orang berseragam dan bertopi kuning melakukan pengukuran di kampung Angger. Banyak sawah dan kebun disebut-sebut masuk ke daerah pembangunan. Warga yang sawah dan kebunnya masuk ke dalam daftar rencana pembangunan pabrik menemui kepala desa, mereka mengisi formulir, diantar ke bank untuk membuat rekening dan menerima uang ganti rugi yang sangat besar. Lalu, robot-robot Jepang itu mulai membongkar puluhan hektar kebun dan sawah, dan membuat lubang besar seperti mangkuk. Warga desa termasuk Mak Karmilah dan Antonio Suparno menontonnya dengan antusias.
Robot-robot Jepang yang berjumlah 9 itu berwarna kuning, bekerja siang dan malam membongkar lahan, mengeruk tanah dan memindahkannya ke puluhan truk yang siap membawa tanah ke tempat lain. Sesekali Pak Sugih meninjau lahan dan manggut-manggut melihat segala sesuatu yang membuat kampungnya kedatangan investor. Ia menang banyak, sekaligus bangga warganya mau bekerja sama.
Berbulan-bulan kemudian pabrik yang besar dibangun, mess karyawan juga dibangun. Sejumlah warga desa membuka warung makan agar karyawan pabrik dari kampung lain tidak kelaparan. Sebagian lainnya kini sudah berseragam, menjadi karyawan dan mendapat gaji bulanan. Kampung Angger yang sepi menjadi semakin ramai, dan Mak Karmilah yang tidak diterima menjadi karyawan ikut-ikutan membuka warung pecel. Para karyawan dari luar kampung menyukai pecel buatannya, juga es degan yang segar di siang bolong.
Di hari yang ditentukan, warga kampung Angger bisa melihat seperti apa bentuk batu bara. Mereka terkesima saat tahu ia hanya batu berwarna hitam kelam dari perut bumi yang bisa menyalakan api hingga 8 jam lamanya. Warga juga terlihat bangga saat tahu bahwa batu bara yang hitam kelam itu bisa digunakan untuk menghasilkan listrik. Tentu saja kampung Angger mendapat fasilitas listrik gratis dengan bahan bakar batu bara. Warga makin bangga.
“Saudara-saudara! Inilah namanya kemajuan. Kampung Angger akan maju. Melesat seperti pesawat terbang. Pak Habibie presiden kita pasti bangga. Kampung Angger luar biasa. Batu bara membuat kita keluar dari kemiskinan!” Pak Sugih berapi-api setiap kali berbicara di depan warganya yang berkumpul dengan antusias.
“Selama ini kita kelimpahan hasil panen. Kita bisa jual padi, jagung, singkong, pisang, nangka, dan lain-lain. Makanan untuk warga cukup. Saatnya isi perut bumi membahagiakan kita dan mensejahterakan kita,” dan warga bertepuk tangan dengan meriah. Mak Karmilah dan Antonio Suparno ikut bertepuk tangan.
Setahun setelah tambang dan pabrik penampungan batu bara berdiri, Mak Karmilah mulai batuk-batuk. Semalaman dia batuk-atuk. Suara batuknya keras dan terasa berat, menjadi nyanyian malam yang memuakkan bagi warga kampung. Antonio Suparno sering terpaksa bangun padahal masih sangat mengantuk. Dengan cekatan ia mengambil termos dan menuangkan air hangat dan memberikannya pada Mak Karmilah, berharap batuknya reda. Jika Mak Karmilah batu-batuk terus, maka tidak bisa ia berjualan pecel dan keluarga kecilnya akan rugi besar.