Kematian Herman di lubang tambang membuat kampung Angger semakin ramai didatangi orang-orang yang mengaku peneliti, LSM, wartawan hingga orang asing. Mak Karmilah mulai baikan. Perempuan tua itu kembali berdagang pecel dan es degan. Antonio Suparno semakin giat membantu sebab menginginkan jatah uang jajan yang semakin banyak. Ia juga suka sekali menguping obrolan orang-orang tentang kampung Angger, seperti tentang tambang batubara dan kematian Herman.
“Jadi, Om. Kenapa Herman bisa mati? Kan di sungai saja dia pandai berenang?” begitulah Antonio Suparno bertanya kepada sejumlah lelaki yang sejak masuk ke warung pecel Mak Karmilah sibuk membicarakan kematian Herman.
“Kamu teman Herman, ya?” Tanya seseorang yang selalu asyik merokok.
“Iya, Herman jago berenang loh, Om!” Antonioo Suparno menjawab dengan sepasang mata berbinar, seakan-akan dia mengagumi mendiang temannya itu.
“Kamu jago berenang, nggak?” tanya lelaki itu selepas menghembuskan asap rokok.
“Ndak, Om, Makanya saya nggak mau ikut Herman ke kolam biru itu,” jawab Antonio Suparno.
“Kenapa?” tanya lelaki itu, penasaran. Ia mematikan rokoknya dengan tergesa.
“Kata si Mbah sih, jangan main ke sana, Om,” jawab Antonio Suparno dengan mimic wajah serius.
“Memang si Mbah kamu pernah main ke sana?” tanya lelaki yang lain, yang baru saja menghabiskan satu piring pecel dengan wajah puas. Ia menepuk-nepuk perut buncitnya dengan penuh kesenangan.
“Ndak pernah sih, Om. Tapi kata si Mbah, kalau main nggak boleh jauh-jauh. Kalau terpeleset dan jatuh nanti ndak ada yang tahu,” Antonio Suparno menjawab sembari mengambil piring kotor, lalu diletakannya di bak cucian piring yang menumpuk.
“Kok kamu tahu disana ada kolam yang airnya warna biru?” tanya si orang yang sangat suka merokok. Dia mengambil satu batang rokok baru dan memainkannya dengan jemarinya sembari menanyai si bocah.
“Ya, kan saya sering diam-diam main ke sana buat lihat robot Jepang, Om. Jadi saya tahu ada kolam biru disana. Cuma lihat saja, Om.” Jelas Antonio Suparno.
“Anak lain sering main ke sana selain Herman?” tanya orang lain yang sebelumnya hanya diam sembari menikmati segelas es degan.
“Ndak tahu saya, Om. Saya kan dimusuhi anak-anak sini. Jarang diajak main bareng, Om.” Kali ini Antonio Suparno menjawab lesu.
“Memangnya kenapa? Kamu ganteng kok, kayak bule,” katanya lagi.
“Mereka bilang saya anak jadah, Om. Anak Wewe Gombel,” jawab Antonio Suparno.
Sekumpulan lelaki itu lalu terdiam dan memahami bahwa tidak mudah menemukan benang merah antara tambang batu bara dengan kematian Herman, selain karena unsur kecelakaan. Sebelumnya, mereka hanya menerima informasi bahwa ayahnya Herman adalah salah satu pekerja di pabrik dan mungkin Herman diam-diam ikut ke area tambang karena rasa penasaran, dan main-main di area pinggiran kolam hingga terpeleset, terjebur dan meninggal dunia.
“Nama kamu siapa sih?” tanya lelaki yang masih terus merokok.