Tragedi lenyapnya kampung Angger dilumat longsor dan banjir bandang tahun 2003 mengubah hidup Antonio Suparno secara keseluruhan. Ia tidak hanya kehilangan Mak Karmilah sebagai satu-satunya anggota keluarga, juga rumah sederhana tempat ia dilahirkan dan dibesarkan. Mak Karmilah tidak pernah ditemukan. Sosoknya seakan menghilang sebagaimana Samina dan menyisakan duka mendalam bagi Antonio Suparno. Ia hanya memiliki dirinya, beberapa lembar pakaian, dan tas ransel berisi buku serta dokumen kependudukan miliknya.
Saat itu usia Antonio Suparno 14 tahun dan ia ada di tahun terakhir sekolah menengah pertama. Atas dukungan Dokter Hudi dan Pak Kasmin yang masih menampungnya, ia berhasil menamatkan sekolahnya. Namun, karena tidak memiliki biaya untuk melanjutkan ke SMA ia memilih ikut salah seorang saudara Pak Kasmin merantau ke Jakarta dan melamar pekerjaan di sebuah rumah makan khas Melayu bernama Muda Gembira. Di rumah makan itu, tugas pertamanya adalah sebagai pencuci peralatan masak dan makan, juga bersih-bersih. Ia dijanjikan untuk diajari keterampilan lain jika berhasil melakukan pekerjaan pertamanya selama 6 bulan.
Antonio Suparno mulai bekerja sejak pukul 5 pagi dan selesai pukul 10 malam. Ia tidak peduli berapa lama harus bekerja setiap harinya, sebab satu-satunya mimpi yang ia miliki adalah mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya dan mencari Samina ke Taiwan. Ia menabung seluruh gajinya dan memakan makanan yang disediakan Muda Gembira bagi seluruh karyawan. Ia makan apa saja dengan lahap dan berusaha agar tidak kelaparan. Ia menurut seluruh perintah atasannya dan tidak banyak bicara. Meski sering digoda sejumlah pelanggan karena ketampanan khas orang asing, Antonio Suparno hanya fokus bekerja.
Pada bulan ketujuh Antonio Suparno bekerja di rumah makan Muda Gembira itu, seorang pelanggan menarik perhatiannya. Seorang perempuan mengenakan seragam SMA memasuki rumah makan itu dan memesan meja paling pojok. Ia datang sendirian. Tubuh perempuan itu sedikit bongsor untuk ukuran anak SMA, namun Antonio Suparno menyukainya. Wajah perempuan itu manis dan gembul, rambutnya yang keriting pirang membuatnya terlihat sangat menggemaskan. Ia juga memiliki sepasang mata indah dengan lensa kecoklatan layaknya permen. Perempuan itu juga sepertinya tidak perlu bersikap malu atau pura-pura bersopan santun dan yeahh ia menenggak habis satu gelas es teh dengan antusias. Gluk, gluk, gluk! Sampai-sampai Antonio Suparno bisa mendengar suara dari kerongkongan perempuan itu. Leher perempuan itu basah oleh keringat dan terlihat begitu anggun di mata Antonio Suparno.
Perempuan itu memesan menu pindang baung, sambal tempoyak, dan sepiring lalapan aneka sayuran. Saat Jimmy, rekan kerja Antonio Suparno yang baru naik tingkat menjadi pengantar makanan membawakan pesanan ke meja perempuan itu, Antonio Suparno bisa melihat binar bahagia di sepasang matanya. Seakan-akan menu sederhana khas Melayu serupa sepiring mutiara nan indah. Tidak lama setelah Jimmy menghidangkan makanan, perempuan itu langsung mengisi piringnya dengan satu centong nasi, dua sendok sambal tempoyak, dua butir terong hijau, timun, selada, daun singkong, dan satu iris pindang baung.
Jimmy mengapit lengan Antonio Suparno, mengajaknya ke meja kasir dan menonton perempuan itu makan dengan lahap. Kedua pemuda ini nampak begitu menikmati pemandangan indah di depan mereka, seakan-akan begitu bangga ada anak remaja ibukota yang menggemari kuliner khas Melayu.
“Namanya, Andromeda Girri,” kata Jimmy.
“Hah? Andro apa?” tanya Antonio Suparno.
“Nama perempuan yang sedang lahap makan itu Andromeda Girri. Dia pelanggan sejak setahun lalu saat dia baru pindah ke Jakarta sini,” jawab Jimmy.
“Oh, dia anak baru juga di Jakarta?” Antonio Suparno makin penasaran.
“Iya. Mungkin anak Sumatera. Makanya dia tahu cara makan pindang ikan baung dan sambal tempoyak. Remaja Jakarta yang sok kebarat-beratan mana mau makan beginian,” jawab Jimmy bangga.
Sejak hari itu Antonio Suparno semakin giat bekerja. Ia selalu menantikan hari Rabu siang, saat Andromeda Girri dengan seragam sekolahnya memasuki pintu rumah makan dan memesan menu makan siang selalu dengan sambal tempoyak. Sesekali Antonio Suparno berbagi tugas dengan Jimmy mengantarkan pesanan perempuan itu agar memiliki kesempatan berkenalan. Memang, sejak saat itu mereka mulai menjadi teman. Bahkan, perempuan itu sudah berani memanggil Antonio Suparno sebagai “Babi Gunung” karena cenderung kikuk setiap kali mereka bertemu. Padahanya nyatanya babi hutan bukan jenis hewan yang kikuk.
“Kamu makan banyak banget, nggak takut gendut?” Antonio Suparno meledek.
“Aku suka jadi gendut. Aku tidak suka kelaparan dan kerempeng,” jawab Andromeda Girri yang menyukai tubuhnya, dan kebiasaan makan lahapnya.
“Tenang, makanan disini semua enak. Semua bahan dikirim dari Sumatera.”
“Aku lebih tahu. Kamu karyawan baru disini,” Andromeda Girri balas meledek.
“Iya, juga sih.”
“Kamu kenapa merantau ke Jakarta yang sumpek ini?”