Maret adalah kegentingan tiada tanding. Orang-orang mulai dibayangi ketakutan akan kematian mendadak, bukan karena menjadi pasien COVID-19 melainkan terpapar saat kepanikan dalam perjalanan panjang dari rumah sakit yang satu ke rumah sakit yang lain. Sebagian orang mulai menggila, menyebarkan informasi bahwa wabah ini semacam kutukan Tuhan kepada golongan manusia tertentu dan ujian bagi kaum beriman. Kematian dimulai dari angka satu.
Kematian selalu mengingatkan Antonio Suparno pada Mak Karmilah. Neneknya itu entah terkubur longsor atau terseret banjir, atau mati dengan cara lain. Sampai hidupnya semakin menua di ibukota, Antonio Suparno tidak pernah sekalipun mendengar kabar tentang Mak Karmilah. Kegembiraannya pada robot-robot Jepang berwarna kuning dan karyawan pertambangan bertopi kuning perlahan sirna, sebab ia pun kehilangan teman bermain masa kecil bernama Herman yang mati saat tercebur ke kolam bekas galian tambang berwarna biru.
Kini, saat rasa ingin tahu tentang kematian Mak Karmilah memuncak dan misteri hilangnya jejak Samina tidak kunjung tersingkap, Antonio Suparno menghadapi wabah mematikan yang telah mengakibatkan kematian karena sesak nafas akut. Mungkin sesak itu juga yang dialami Herman saat menghembuskan napas terakhirnya di kolam bekas galian tambang di kampung Angger. Ia pun mengalami sesak yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata saat kekasih hatinya terjebak di Milan.
Antonio Suparno membuka ponselnya dan memandangi foto-foto perempuan berambut pendek yang selalu mampu membuatnya tertawa, seakan lupa bahwa kedatangannya ke Jakarta adalah karena tragedi yang menyakitkan di kampung halamannya, kampung Angger yang telah binasa. Dialah Alexandra, perempuan muda dan energik yang kini terkurung di negara lain karena wabah yang sama menyebar dari negeri tirai bambu. Ia sangat ingin memeluk Alexandra sebagaimana ia rindu memeluk Mak Karmilah dan Samina yang entah di mana rimbanya.
Saat Antonio Suparno tengah merenungkan hidupnya dengan penuh penghayatan, seseorang memanggil namanya dengan kencang dan itu Andromeda Girri.
“Babi Gunung buka pintu!” Andromeda Girri berteriak-teriak, tidak sabar.
Antonio Suparno bangkit dari duduknya dan menuju pintu. Ia mendapati Andromeda Girri terengah-engah dan masuk dengan buru-buru. Perempuan itu membuka masker yang menutupi setengah wajahnya dan melemparkannya ke kotak sampah. Ia melemparkan satu plastik besar camilan ke sofa dan berjalan cepat menuju kulkas dan mengambil satu kaleng minuman dingin.
“Teman gue ada yang mati!” Andromeda Girri kemudian menenggak habis minuman itu dan melempar kaleng yang telah ia remas ke kotak sampah.
“Hah? Siapa? Mati kenapa?” Antonio Suparno melongo.
“Mati karena corona lah! Memangnya apa lagi?!” jawabnya galak.
“Ya iya, siapa yang mati? Teman kamu yang mana dulu?” kejar Antonio Suparno sembari membuka satu bungkus keripik singkong kesukaannya dari kantong plastik yang dibawa oleh Andromeda Girri.
“Lo baca di Twitter kan ada yang lagi viral tuh tentang perempuan muda pulang dari Jepang, trus dengan sadar diri ke RS rujukan buat periksa. Tapi sama pihak RS dilempar ke sana ke kemari. Entah di mana dia terpapar. Entah di Jepang, di bandara, atau di jalanan dari RS satu ke RS lain. Tapi pas udah parah dan dibawa ke RS udah sesak napas parah dan mati dia. Itu teman gue yang mati itu!” Andromeda Girri masih berdiri dengan wajah pucat sembari memegangi kaleng minuman kedua.
“Teman di mana? Di resto?” tanya Antonio Suparno, berusaha bersikap tenang.
“Bukan! Itu teman gue nongkrong sama Daniel. Dia tunangan temannya Daniel!” Andromeda Girri kini melemparkan kaleng kedua ke kotak sampah dan duduk dekat Antonio Suparno yang sedang mengunyah keripik dengan bingung.
“Aku kenal anak itu?” tanya Antonio Suparno, semakin penasaran.
Andromeda Girri mengerutkan kening, berpikir.
“Namanya Ditta, anak Kementerian Luar Negeri. Anaknya baik banget dan sering bawain gue oleh-oleh kalau pulang tugas dari negara mana pun. Dia ke Jepang, sama kayak Daniel, cuma beda urusan. Sedih gue!” sepasang mata Andromeda Girri memerah dan dadanya naik turun seperti baru saja terjatuh dari ketinggian.
“Kayaknya aku belum pernah ketemu dia ya?” Antonio Suparno merasa heran pada dirinya sendiri.
“Entahlah. Tapi kita berempat itu ada rencana nikah di tahun 2020 ini. Gue kasihan sama Chandra harus kehilangan Ditta. Makanya gue deg-degan juga nih karena Daniel di Jepang dan nggak bisa balik!” Andromeda Girri mulai terisak.
Melihat sahabatnya bersedih, Antonio Suparno terdiam. Ia mulai khawatir dengan nasibnya sendiri dan nasib kekasihnya yang juga sedang bertugas di negeri asing.
“Huh!” Andromeda Girri melap keringat di lehernya dengan tissue berkali-kali. Ia Nampak sangat tidak sabar. Ia juga kepanasan dan rasa panas yang menyeruak dari dalam dirinya yang dipenuhi rasa khawatir tak kunjung mendingin meski telah menenggak tiga kaleng minuman dingin.
Karena merasa kepanasan, Andromeda Girri membuka kemejanya dan melempar kemeja itu ke pinggir lemari buku. Tubuhnya yang basah oleh keringat hanya berbalut tank top berwarna hitam yang membuatnya terlihat seksi sekaligus gagah.
“Oke, aku ngerti. Turut berduka ya, Centong,” Antonio Suparno mengacak-acak rambut Andromeda Girri yang basah oleh keringat.
“Gue sekarang kepikiran Daniel. Dia masih terkunci di Jepang. Gue takut!” Andromeda Girri mulai menunjukkan wajahnya yang sedih. Sepasang matanya mulai berkaca-kaca dan pipinya yang gembul memerah.
“Aku juga. Alexandra terjebak di Milan, nggak bisa balik,” Antonio Suparno menaruh bungkus keripik di meja dan menenggak habis satu gelas minuman dingin dengan perasaan cemas. Ia meremas kaleng itu sekuat tenaga lalu melemparnya ke kotak sampah, dan pluk kaleng itu masuk ke takdirnya yang lain.
“Trus gimana? Kita paksa mereka balik apa gimana?” tanya Andromeda Girri panik. Kedua tangannya mencengkram kuat lengan kanan Antonio Suparno. Perempuan itu bertingkah sangat sedih layaknya seorang adik kecil tengah menunggu pertolongan kakak lelaki satu-satunya yang bisa menyelamatkannya dari tragedy.
“Balik juga percuma kalau pesawat nggak beroperasi,” jawab Antonio Suparno.
“Lo jangan mati ya, Babi Gunung,” kini Andromeda Girri memelas, kemudian memeluk Antonio Suparno karena bagi keduanya mereka saling memiliki satu sama lain sejak tak lagi memiliki rumah untuk pulang.
Antonio Suparno bisa merasakan kulit lengket dan basah Andromeda Girri, juga tubuhnya yang gemetaran karena rasa takut. Ia mengusap-usap punggung perempuan itu dengan penuh kasih sayang, lalu mengelus rambut keritingnya yang lembab oleh keringat. Ia juga bisa merasakan air mata perempuan itu yang jatuh di pundaknya.
“Kamu juga jangan mati, Centong. Aku nggak punya siapa-siapa di Jakarta ini,” Antonio Suparno mengelus kepala Andromeda Girri dengan penuh kelembutan.