Selepas shalat subuh, mereka melanjutkan perjalanan. Mereka melalui kesunyian perkebunan karet sejauh lima jam perjalanan. Perkebunan karet itu sepertinya berusia lumayan tua. Dahan-dahannya bahkan membuat setengah terowongan yang memayungi satu-satunya jalan setapak yang membelah kebun. Akibatnya, sinar matahari tidak bisa menembus tanah dan suasananya terasa begitu lembab.
Perjalanan kali ini ditemani Pak Kumis yang pandai sekali melucu. Perjalanan yang membosankan dan cenderung menyeramkan menjadi sedikit ringan dan setiap orang menurunkan level kewaspadaan masing-masing.
“Saya heran, Mbak Karenina yang kecil ini ternyata bisa melahap domba panggang sampai tiga piring. Apa Mbak memberi makan manusia lain yang tidak kelihatan?” Pak Kumis berjalan melenggak lenggok sembari menggoda Karenina yang semalam sangat rakus sampai-sampai semua orang terheran-heran.
“Ya, begitulah,” Karenina tersipu malu dengan perbuatannya sendiri.
“Apa memang pada dasarnya Mbak Karenina ini rakus?” tanya Pak Kumis lagi.
“Hmm, mungkin ada monster dalam diri saya makanya saya bisa makan sebanyak itu. Maaf ya Pak Kumis,” kali ini Karenina memberikan senyumnya yang manis pada Pak Kumis yang terus saja menggodanya.
“Masalahnya, nanti saya kena marah Ibu Ageung kalau membawa tamu yang rakus seperti Anda. Soalnya Ibu Ageung itu pelit!” Goda Pak Kumis lagi.
“Ahhh, tenang saja. Nanti saya memberi suatu hadiah kepada Ibu Ageung agar saya boleh makan sebanyak yang saya inginkan,” Karenina tersenyum manis sekali kepada Pak Kumis dan semua orang, lalu berjalan cepat mendekati Riana.
“Ini kebun karet punya siapa sih, Pak? Luas banget?” tanya Sabara.
“Punya orang kaya lah,” jawab Tuan Lelikur.
“Kapan mereka mengumpulkan getahnya? Sejak tadi kita nggak melihat satu orang pun mengumpulkan getah karet di perkebunan seluas ini,” kejar Sabara, semakin penasaran dengan perjalanan ganjil yang dilalui sejak kemarin subuh.
“Yahhh, kamu nggak perlu tahu tentang segala sesuatu. Kadang-kadang, banyak hal hanya perlu kita lihat saja, tanpa perlu bertanya,” jawab Tuan Lelikur.
“Ya nggak bisa gitu juga, Tuan. Kita kan nggak tahu sekarang sedang masuk ke properti siapa. Kalau kita ditangkap dan dituduh mencuri gimana?” Kali ini Gio yang penasaran.
“Hmmm,” Tuan Lelikur hanya berdehem dan berjalan dengan cepat.
“Perkebunan karet seluas ini nggak mungkin milik perseorangan, Tuan. Pasti milik sebuah perusahaan entah milik swasta atau negara. Tapi kok nggak ada tanda-tanda bahwa kebun ini diurus ya?” Gio berjalan disamping Tuan Lelikur yang menurutnya menyimpan banyak misteri.
“Sebentar lagi ada yang lebih mengejutkan,” jawab Tuan Lelikur.
“Wahhh, apa itu?” kini Andromeda Girri antusias.
“Ada deh, kamu kepo!” Tuan Lelikur memeletkan lidahnya pada Andromeda Girri.
“Apa Ibu Ageung yang punya perkebunan karet ini?” tanya Andromeda Girri dengan sepasang mata membulat, jenaka.
Tuan Lelikur menghentikan langkahnya, memandang Andromeda Girri.
“Mengapa kami bisa bilang demikian?” tanya Tuan Lelikur sembari melanjutkan langkahnya.
“Saya kira sih orang yang memiliki perkebunan karet maha luas itu manusia serakah!” jawab Andromeda Girri sembari tertawa kencang.
“Serakah?” Tuan Lelikur kembali menghentikan langkahnya, memandang ke arah Andromeda Girri dengan penuh heran.
“Ayah saya anak orang kaya dengan perkebunan sangat luas sebagai kekayaan. Tapi, karena kekayaan itu pula, ayah saya meninggalkan ibu saya saat saya masih dalam kandungan. Ayah saya lebih memilih kebun pala dan kebun karetnya daripada saya. Itu jahat dan serakah, bukan?” Andromeda Girri nyerocos.
“Sttt!” Antonio Suparno menarik lengan Andromeda Girri dan memintanya untuk menjaga perkataannya saat melakukan perjalanan di alam liar.
“Lalu?” tanya Tuan Lelikur.