“Mulai saat ini, saya ibu kalian semua,” begitulah kata-kata pertama yang diucapkan Ibu Ageung yang Mulia kepada para tamunya di malam lebaran. Perempuan itu bertubuh singset, menggunakan setelan sederhana, rambut digelung yang diselipi sekuntum bunga mawar, dan berusia 50 tahun. Ia telah memimpin Biha-Biha sejak tahun kelima pelariannya yang berdarah-darah dari sindikat perdagangan orang. Kepada anak-anaknya yang memandangnya dengan penuh kekaguman, ia mengatakan bahwa Biha-Biha bukan sesuatu yang istimewa, sebab namanya saja tidak tercatat dalam administrasi kewilayahan negara ini. Namun demikian, Biha-Biha merupakan rumah aman bagi anak-anak dengan jiwa rapuh seperti para tamunya tahun ini. Perempuan itu juga memberi tahu, bahwa pada saat yang sama ada 90 tamu lain yang tersebar di Sembilan lokasi berbeda di Biha-Biha.
“Panggil saya mama, ibu, bunda, ambu, ummi, mama, mommy, madre. Terserah kalian. Suka-suka kalian saja. Sampai kalian kembali ke tempat masing-masing, rumah ini adalah rumah kalian dan saya ibu kalian,” Ibu Ageung yang Mulia kemudian memeluk mereka satu persatu. Tangis mereka pecah dan pertemuan ini begitu mengharu biru.
“Bagaimana bisa menemukan kami?” tanya Kintami.
“Kalian mengisi kuesioner online,” jawab Sang Ibu.
“Oh, jadi kami semua terpilih karena mengisi sebuah kuesioner online? Tapi, kuesioner tentang apa ya?” Andromeda Girri kebingungan.
“Sudahlah, lupakan saja. Toh, saat kalian lahir ke dunia sebagai bayi, kalian juga lupa apa perjanjian dengan Tuhan kalian, bukan?”
“Iya, sih hehe,” Andromeda Girri kini tahu alasan mengapa Antonio Suparno mendapatkan undangan ke Biha-Biha.
Rupanya, Biha-Biha merupakan sebuah kota kecil yang berisi ratusan “Rumah Aman” bagi orang-orang, terutama anak-anak dan remaja yang mengalami masalah dalam kehidupannya. Biha-Biha berdiri diatas sebuah desa yang ditinggalkan yang sebenarnya bisa dilalui dengan mudah melalui terowongan dengan transportasi khusus yang disediakan untuk para korban yang membutuhkan pertolongan. Hanya saja, perjalanan paling sulit diberikan kepada delapan rombongan utama sebagai sarana belajar sebab karakter mereka yang keras, pemarah, pembangkang, pendendam dan sangat sulit diberi pengertian kecuali kesulitan itu sendiri yang membuat mereka bersikap bijaksana menjalani hidup.
Biha-Biha hidup dari kegiatan pertanian, peternakan, perkebunan bunga, hingga industri kerajinan tangan. Setiap orang yang mengamankan dirinya ke Biha-Biha memiliki opsi untuk kembali atau tinggal selama yang dibutuhkan. Setiap orang akan diberi kesempatan membangun hidupnya dan meninggalkan masa lalu kelam yang menghantui. Sebab setiap orang memiliki kesempatan untuk bahagia.
“Apa kita akan pulang cepat?” tanya Andromeda Girri.
“Ngapain juga, sih? Dunia diserang wabah. Kita disini aja sampai bosan,” jawab Antonio Suparno.
“Kenapa? Kerjaan lo gimana?” tanya Andromeda Girri lagi.
“Mungkin aku akan jadi petani saja disini. Nostalgia masa kecil di kampung Angger. Mungkin bisa merelakan Ibu juga dan berhenti mencarinya,” jawab Antonio Suparno, sembari memandang ke arah Ibu Ageung Yang Mulia, yang tengah memeluk pinggang Karenina.
“Karenina hamil kayaknya,” tebak Andromeda Girri.
“Iya, mungkin dia korban pemerkosaan atau entahlah,” Antonio Suparno sepakat dengan pendapat Andromeda Girri.
“Dia akan betah disini dan mungkin nggak akan pernah kembali,” Andromeda Girri tersenyum melihat perempuan bertubuh mungil itu, yang selalu tersenyum bahagia sejak tiba di Biha-Biha.
“Pernikahan kamu sama Daniel gimana kalau nggak balik ke Jakarta?” tanya Antonio Suparno.
“Entahlah. Mungkin aku akan nikah sama dia tuh,” Andromeda Girri mengarahkan dagunya pada Dani, lelaki yang yang baru dikenalnya saat tiba di Rumah Besar. Rupanya, Dani datang terlambat bersama Rani kembarannya yang mulai melirik-lirik Sabara yang manis.
“Apa Biha-Biha juga akan jadi ajang perjodohan?” Antonio Suparno penasaran dengan perasaannya sendiri, sebab rasanya perjalanan ke Biha-Biha menjauhkan hatinya dari Alexa. Matanya melihat sekeliling dan sejak awal ia menaruh perhatian penuh pada Karenina.