Langit malam Solo membentang seperti selimut beludru hitam tanpa bintang, pekat dan sunyi. Danu Sastrawan menatap layar ponselnya dengan tatapan hampa. Pesan singkat dari ayahnya, Rustam Adi Baskoro, terpampang jelas di layar: "Pulanglah. Toko ini milikmu sekarang." Kata-kata itu sederhana, namun terasa seperti beban yang mengakar dalam.
Danu baru saja menyelesaikan kuliahnya di Teknik Informatika, sebuah pencapaian yang seharusnya memberinya kebebasan untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Namun pesan itu membawanya kembali, mengantarnya pada masa lalu yang ingin ia tinggalkan. Ia mematikan ponselnya, menyandarkan kepala ke jendela bus malam yang berderak. Wajahnya yang tampan, dengan rambut ikal sedikit berantakan, terpantul samar di kaca jendela, namun di balik itu ada kelelahan yang sulit disembunyikan.
Terminal Semarang menyambutnya dengan riuh rendah kendaraan yang tak henti, meski malam sudah larut. Udara basah bercampur aroma aspal dan hujan menyelimuti langkahnya yang pelan. Tas punggungnya terasa berat, bukan karena isinya, melainkan beban pikiran yang menyertainya. Jalan menuju rumahnya hanya beberapa menit berjalan kaki, namun setiap langkah terasa seperti menembus kabut kenangan.
Ketika ia tiba di depan rumahnya, kesan akrab sekaligus asing menyelimutinya. Rumah itu berdiri dalam diam, dikelilingi pagar besi berkarat yang berderit halus saat disentuh angin. Dindingnya, meski masih kokoh, mulai memudar, dan jendela kayu yang tertutup rapat tampak seperti mata tua yang mengamati dari kegelapan. Pintu kayunya sedikit terbuka, seperti undangan yang tak terucap.
“Danu,” suara lembut namun tegas menyambutnya. Laras, ibunya, berdiri di ambang pintu dengan senyum yang menenangkan. Rambutnya yang sebagian memutih diikat rapi di belakang, memberi kesan sederhana namun penuh wibawa. “Ayo masuk, Nak. Udara di luar dingin.”
Danu melangkah masuk, mencium aroma masakan ibunya yang masih tersisa di udara. Di ruang tengah, ayahnya, Rustam, duduk dengan postur tubuh yang kaku namun tampak lebih rapuh dari yang Danu ingat. Rambutnya yang hampir seluruhnya memutih dan mata tajamnya yang penuh cerita menyambut putranya tanpa banyak kata.
“Duduklah,” kata Rustam, suaranya berat, hampir seperti perintah.
Makan malam berlangsung dalam keheningan yang hanya diisi oleh suara piring dan sendok. Setelah selesai, Rustam menggeser sebuah kotak kayu tua ke arah Danu. Kotak itu dihiasi ukiran rumit bertuliskan "Cahaya", nama yang telah melekat di keluarga mereka selama lebih dari dua abad.
“Ini milikmu sekarang,” kata Rustam pelan, namun tegas. “Mulai besok, toko itu menjadi tanggung jawabmu. Kau adalah pewaris kelima.”