Keajaiban Toko Lampu "CAHAYA"

glowedy
Chapter #2

Cahaya Kedua : Cahaya di Ujung Pencarian

Langit Semarang sore itu mendung, awan kelabu menggantung rendah, seolah menyimpan rahasia hujan yang tak kunjung turun. Di lorong sempit sebuah panti jompo, langkah kaki Laila terdengar pelan namun tegas, berirama dengan denting jarum jam tua di ruang tengah. Ia mengenakan seragam putih bersih, tangan mungilnya menggenggam baki berisi secangkir teh melati dan sepiring biskuit untuk penghuni paling tua di panti itu, Pak Wiryo.

Pak Wiryo duduk di dekat jendela, tatapannya kosong menembus kaca yang dihiasi tetesan hujan ringan. “Anakku seperti kamu, Laila,” gumamnya lirih. “Tapi aku kehilangan jejaknya. Entah bagaimana dia sekarang.”

Laila tersenyum tipis, menaruh teh di meja kecil di samping pria tua itu. “Bapak mungkin akan bertemu dengannya lagi suatu hari nanti,” jawabnya lembut, meskipun hatinya tahu bahwa harapan itu hanya angan-angan yang rapuh.

Di balik senyumnya yang tenang, Laila menyimpan rahasia yang lebih gelap dari hujan yang menggantung di langit. Lima tahun telah berlalu sejak ibunya, Sekar, pergi ke Hong Kong untuk bekerja. Surat-surat yang semula datang setiap bulan tiba-tiba terhenti, meninggalkan Laila dengan kebisuan yang menusuk. Ia telah mencari, bertanya pada siapa saja yang mengenal ibunya, bahkan pergi sendiri ke Hong Kong dengan harapan menemukan jejaknya. Namun, pencariannya selalu berakhir di jalan buntu.

Kekasihnya, Januar, adalah satu-satunya orang yang tahu sepenuhnya tentang pencariannya. Malam sebelumnya, mereka duduk berdua di ruang tamu rumah Januar, aroma teh melati menghangatkan udara yang dipenuhi percakapan berat.

“Laila,” ujar Januar, menggenggam tangan Laila erat. “Aku tahu kau lelah, tapi kita harus terus mencari. Aku tidak bisa diam saja sementara kau membawa semua ini sendirian.”

Laila menggelengkan kepala, senyum getir menghiasi wajahnya. “Jan, aku sudah mencoba segalanya. Aku bahkan pergi sejauh Hong Kong, bertanya pada siapa saja yang mau mendengarkan, tapi hasilnya tetap sama—tidak ada. Ibuku seperti menghilang tanpa jejak.”

Januar menatapnya lama, matanya penuh dengan keinginan untuk membantu, meskipun ia tahu ia tidak memiliki jawaban. “Aku tidak peduli seberapa sulit ini, Laila. Kita akan menemukannya. Aku janji.”

Laila menghela napas, menatap cangkir teh di tangannya yang mulai mendingin. “Kadang aku berpikir mungkin ini semua sia-sia. Bagaimana jika dia sudah tidak ada lagi di dunia ini, Jan? Bagaimana jika aku hanya mengejar bayangan?”

“Laila,” Januar memotong, nadanya tegas. “Kau tidak sendirian. Apa pun yang terjadi, aku akan ada di sisimu.”

Namun, kata-kata Januar yang hangat tidak mampu mengusir kegelapan yang menghantui hati Laila. Pencarian yang tiada henti telah menggerogoti semangatnya, meninggalkannya dalam kelelahan yang tak bertepi.

 

Panggilan dari Cahaya

Hari itu, seusai bekerja, Laila berjalan tanpa tujuan di jalanan Semarang. Langit semakin kelabu, hujan ringan mulai turun, membasahi rambutnya yang tergerai. Langkah kakinya terasa berat, seperti ditarik oleh sesuatu yang tak terlihat. Ketika ia mengangkat kepala, sebuah toko kecil dengan papan nama kuning keemasan menarik perhatiannya: “Toko Lampu Cahaya.”

Ia berdiri diam di depan toko itu, perasaan aneh merayapi tubuhnya. Ia tidak tahu mengapa, tapi ada dorongan kuat untuk masuk, seolah-olah toko itu memanggilnya. Bel pintu berdenting pelan saat ia melangkah masuk. Udara di dalam terasa lebih dingin daripada di luar, membawa aroma kayu tua dan sesuatu yang lain, sesuatu yang asing.

Matanya langsung tertuju pada sebuah lampu kecil di sudut toko. Kap hijau keemasannya menyala dengan lembut, seperti menunggu. Tanpa sadar, Laila melangkah ke arahnya, tangannya terulur seolah ingin menyentuh cahaya itu.

“Lampu itu tidak dijual,” suara seorang pria memecah keheningan. Laila menoleh, melihat seorang pria muda berdiri di balik meja kasir, wajahnya tampan namun lelah.

“Kenapa tidak?” tanya Laila, bingung. “Bukankah ini toko lampu?”

Pria itu, yang kemudian ia ketahui bernama Danu, menjelaskan dengan nada serius. “Lampu itu berbeda. Ia memilih pemiliknya. Jika menyala untukmu, itu berarti kau memiliki rahasia besar.”

Laila menatap Danu dengan ekspresi setengah percaya. “Rahasia besar? Aku tidak mengerti.”

“Aku juga tidak sepenuhnya mengerti,” jawab Danu jujur. “Tapi jika kau dipilih, kau boleh meminjam lampu ini. Hanya saja, jika lampu ini padam, kau harus segera mengembalikannya.”

Laila mengangguk, membawa lampu itu pulang meski hatinya penuh dengan kebingungan. Ada sesuatu tentang cahaya hijau keemasan itu yang membuatnya merasa bahwa jawabannya mungkin ada di sana.

 

Rahasia dalam Cahaya

Selama dua malam pertama, lampu itu terus menyala di kamarnya. Cahaya lembutnya memantul di dinding, mengisi ruangan kecilnya dengan kehangatan yang aneh. Namun, tidak ada petunjuk, tidak ada jawaban. Laila mulai merasa kecewa, berpikir bahwa semua ini hanyalah ilusi.

Di malam ketiga, segalanya berubah. Saat tengah malam, udara di kamarnya tiba-tiba terasa dingin. Lampu itu memancarkan cahaya yang lebih terang, hampir menyilaukan. Dari dalam cahaya itu, bayangan mulai terbentuk—sebuah rumah tua di tepi rawa, dengan dinding kusam dan jendela besar yang menghadap kabut. Di depan rumah itu berdiri seorang pria tua, menggenggam selembar surat usang. Laila mendengar suara samar, seperti bisikan angin, menyebut sebuah kata: “Rawatjaya.”

Ia terbangun dengan napas tersengal, matanya menatap lampu yang perlahan meredup. Bayangan itu terus menghantui pikirannya, namun ia tidak tahu apa arti kata itu. Rawatjaya. Tempat apa itu? Apa hubungannya dengan ibunya?

 

Petualangan Danu dan Laila

Hujan rintik-rintik turun perlahan, menyelimuti kota Semarang dalam kabut tipis. Laila berdiri di depan Toko Lampu Cahaya, tubuhnya menggigil meski bukan hanya karena dingin. Lampu hijau keemasan di tangannya terasa lebih berat dari sebelumnya, seperti membawa rahasia yang menekan jiwanya. Langkahnya tertahan, tapi ada sesuatu di dalam dirinya yang mendorongnya maju.

Lihat selengkapnya