Keajaiban Toko Lampu "CAHAYA"

glowedy
Chapter #3

Cahaya Ketiga : Cahaya yang Retak

9 Juli 2004. Pagi itu, Semarang dipeluk keheningan. Langit mendung, udara terasa berat seperti menyimpan pertanda yang sulit dibaca. Rustam Adi Baskoro melangkah menuju Toko Lampu Cahaya, dengan Danu kecil yang tertidur dalam gendongannya. Anak berusia dua tahun itu terlihat damai, napasnya teratur, dan jemari kecilnya menggenggam kain gendongan seolah tak ingin terlepas.

Di depannya, toko tua itu berdiri seperti bayangan yang terlalu lama terjebak dalam waktu. Dinding kayu yang kusam, pintu berderit yang menua bersama engselnya, dan jendela besar yang tak lagi jernih menyimpan sisa-sisa kehidupan masa lalu. Di atasnya, papan nama yang memudar bertuliskan “Toko Lampu Cahaya”. Huruf-hurufnya hampir hilang, tetapi tetap berdiri kokoh, seperti enggan dilupakan.

Rustam mendorong pintu kayu itu. Suara deritnya terdengar seperti rintihan tua, memecah keheningan ruangan yang hampa. Di dalam, aroma kayu lapuk bercampur dengan lilin yang hangus menyeruak ke udara. Rak-rak kayu di sepanjang dinding dipenuhi lampu dari berbagai zaman—lampu minyak dengan sumbu yang hampir punah, lampu gantung kristal yang berkilau suram, hingga lampu meja dengan desain modern yang tampak canggung di antara benda-benda kuno lainnya.

“Ah, akhirnya kau datang,” suara berat Rahardjo Baskoro, ayah Rustam, terdengar dari meja kerjanya.

Rahardjo duduk di kursinya yang reyot, sebuah buku tua terbuka di depannya. Wajahnya yang dihiasi keriput tampak keras, tetapi matanya bersinar ketika melihat cucu satu-satunya. “Bawa dia ke sini. Hari ini dia harus mengenal tempat ini.”

Rustam melangkah masuk, melewati meja kecil di sudut toko tempat lampu hijau keemasan berdiri. Namun begitu mendekat, Danu tiba-tiba menggeliat di gendongannya. Matanya yang kecil terbuka lebar, dan seketika tangisnya pecah. Suaranya menggema di dalam toko, seperti menabrak dinding dan memantul kembali, memenuhi ruang dengan nada yang memekakan telinga.

Rustam berhenti, memeluk anaknya erat, mencoba menenangkannya. “Kenapa, Nak? Jangan menangis. Ini hanya toko.”

Namun tangis Danu semakin keras. Tubuhnya menggeliat, tangannya mencengkeram baju ayahnya, menarik-nariknya dengan panik, seolah ingin pergi sejauh mungkin dari sudut toko itu.

Rahardjo bangkit dari kursinya, langkahnya pelan tetapi pasti. Ia menghampiri Rustam, mengambil Danu dari gendongan ayahnya. “Berikan dia padaku.”

Rustam ragu, tetapi ia tahu ayahnya tidak pernah kehilangan kendali. Dengan tangan gemetar, ia menyerahkan Danu kepada Rahardjo.

Rahardjo memeluk cucunya erat, lalu mulai mendendangkan lagu. Melodi itu aneh, seperti mantra yang tak bisa dipahami. Kata-katanya terdengar kuno, asing, dan membawa getaran magis yang merayap ke seluruh toko:

Na'lem resah… sulin rema…

Tarim laneth… salu visra…

Lagu itu mengalir, lembut tetapi penuh kekuatan. Tangis Danu perlahan mereda. Matanya yang basah mulai tertutup, napasnya kembali teratur, hingga ia tertidur dalam pelukan kakeknya.

Rustam memandang kejadian itu dengan bingung. “Pak, apa yang barusan kau nyanyikan?”

Rahardjo tidak menjawab. Ia hanya menatap Danu kecil di pelukannya, lalu berkata dengan suara rendah, “Lagu lama. Lagu untuk menenangkan cahaya. Kau tak perlu tahu lebih dari itu.”

 

Lihat selengkapnya