Hari itu senja merayap pelan, menelan sisa terang yang tersisa. Di Toko Lampu Cahaya, waktu terasa beku. Rak-rak kayu tua berdiri bisu, lampu-lampu berdebu memandang dengan diam yang memaksa. Tidak ada satu pun pembeli hari ini, hanya Danu yang termenung di meja kerjanya, mencoba melawan pikiran tentang toko tua ini—tentang mitos, tentang lampu hijau keemasan yang telah sebulan tak memberi tanda.
Ia memutuskan menutup toko lebih cepat. Suara engsel pintu bergema pelan ketika ia menariknya untuk mengunci. Namun langkahnya terhenti.
Dari dalam toko yang gelap, semburat cahaya hijau perlahan merayap ke kaca pintu. Lampu hijau keemasan menyala, memancar dengan denyut yang aneh, seperti bernapas.
Danu tertegun. Tidak ada siapa pun di dalam.
Ia membuka pintu kembali, langkahnya ragu. Udara di dalam toko terasa lebih berat, dingin seperti malam yang datang terlalu cepat. Saat ia mendekati lampu, suara kecil dari belakang membuatnya terhenti.
“Om.”
Danu berbalik cepat. Di luar pintu, seorang gadis kecil berdiri dengan keranjang di tangannya. Seragam sekolahnya lusuh, terlalu besar untuk tubuh kecilnya. Rambutnya dikepang rapi, tetapi wajahnya tampak murung, seperti menyembunyikan sesuatu yang tak ingin ia bagikan.
“Om mau beli bakpao saya?” tanyanya, suaranya pelan tetapi jelas. “Masih ada lima.”
Danu menatap gadis itu lama, mencoba membaca sesuatu dari matanya yang gelap. Ada sesuatu di sana—sorot yang terlalu berat untuk usianya.
“Berapa?” tanya Danu akhirnya.
“Tiga ribu,” jawabnya singkat.
Danu mengangguk. “Tunggu sebentar. Om ambil uang dulu.”
Magnet yang Memanggil
Ketika Danu melangkah menuju laci di meja kerjanya, ia melihat gadis kecil itu perlahan melangkah masuk ke toko. Tanpa suara, ia berjalan mendekati lampu hijau keemasan yang terus menyala. Lampu itu memancar lebih terang.
Gadis itu berhenti di depan meja kecil, matanya terpaku pada cahaya hijau itu. Wajahnya yang murung terlihat lebih lembut, tetapi ada sesuatu di balik pandangannya—sebuah rasa penasaran yang mendalam.
“Kamu suka lampu itu?” tanya Danu, mencoba memecah keheningan yang terasa terlalu tebal.
Gadis itu menatap lampu itu lebih lama sebelum menoleh ke arah Danu. “Bagus sinarnya,” katanya singkat.
Danu tersenyum kecil. “Kalau kamu suka, Om bisa pinjamkan. Tapi ada syaratnya. Lampu ini tidak untuk dimiliki. Begitu dia padam, kamu harus balikin ke toko ini.”
Gadis itu menggeleng perlahan. “Di rumah Amanda gak ada listrik, Om. Lampu ini gak akan ada gunanya.”
Jawaban itu membuat Danu terdiam. Ia hanya memandang gadis kecil itu, mencoba mencari sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata. Tetapi Amanda tetap tenang, matanya kembali menatap lampu hijau itu dengan kesan tak terdefinisi.
Danu akhirnya menyerahkan uang untuk bakpao itu dan berkata, “Kalau begitu, Om antar kamu pulang. Lampu ini ikut juga.”
Amanda menatapnya sebentar, lalu mengangguk kecil.
Mereka melaju di atas motor tua Danu, melewati jalanan Semarang yang gelap dan dingin. Lampu hijau keemasan itu duduk di pangkuan Amanda, memancarkan cahaya lembut yang memecah bayangan di sekitar mereka.
Danu tidak berkata apa-apa sepanjang perjalanan. Ia hanya sesekali melirik gadis kecil di belakangnya, wajahnya tetap datar, matanya terpaku pada lampu itu seolah sedang berbicara dengannya.
Di udara malam yang dingin, sinar hijau itu seolah hidup, menemani perjalanan mereka. Tetapi di dalam hati Danu, ada pertanyaan yang tidak bisa ia abaikan.
Mengapa lampu itu menyala untuk Amanda? Apa yang dipanggilnya? Dan apa yang sebenarnya sedang terjadi?
Di balik sinar hijau itu, jawabannya masih tersembunyi, menunggu untuk ditemukan.
Padamnya Cahaya Amanda
Pagi itu, toko Lampu Cahaya terasa lebih sunyi dari biasanya. Danu duduk di meja kerjanya, menunggu Amanda yang tak kunjung datang seperti yang ia harapkan. Hingga siang menjelang sore, gadis kecil itu tak juga muncul, dan rasa penasaran Danu semakin mengusiknya. Akhirnya, ia memutuskan pergi mencari Amanda ke rumahnya di gang belakang pasar.
Langit Semarang dipenuhi awan kelabu, membawa suasana yang seakan menggantung. Danu berjalan perlahan memasuki gang belakang pasar, tempat yang disebut Amanda sebagai rumahnya. Jalan sempit itu terasa seperti lorong yang menelan suara, hanya menyisakan dengung samar dari aktivitas pasar yang mulai sepi.
Di ujung gang, sebuah pintu kayu setengah terbuka berdiri dengan kesunyian yang mengundang. Danu berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam sebelum mengetuk pintu itu pelan.
“Permisi, ada orang di rumah?”
Suara berat perempuan terdengar dari dalam, diselingi batuk yang serak. “Siapa?”
“Saya Danu, Bu. Saya mau tanya soal Amanda.”
Pintu terbuka sedikit lebih lebar. Seorang perempuan dengan wajah tirus dan mata cekung menatapnya dari balik celah itu. Rambutnya terikat asal-asalan, menambah kesan lelah yang terpancar dari tubuhnya.
“Masuk aja,” katanya singkat, menggeser tubuhnya agar Danu bisa masuk.
Ruangan kecil itu hampir tidak layak disebut rumah. Hanya satu petak berukuran empat meter persegi, dengan dinding yang lembab dan penuh bercak hitam. Tempat tidur single terletak di sudut ruangan, menyatu dengan meja kecil yang berantakan. Di lantai, ada kompor tua dan beberapa panci yang terlihat kusam.
Danu melangkah masuk, duduk di kursi kayu yang usang. Pandangannya menyapu ruangan, mencari sesuatu yang ia tahu tidak bisa ia abaikan—lampu hijau keemasan.
Ia menemukannya di atas meja kecil di dekat jendela. Lampu itu berdiri diam, tak lagi memancarkan cahaya.
Lampu itu mati.
Danu menatapnya dengan alis mengernyit, perasaan tidak nyaman menjalari punggungnya. Padamnya lampu itu bukan hanya tanda, tetapi juga pertanyaan. Mengapa cahayanya menghilang?
“Lampu itu,” gumamnya tanpa sadar.
Perempuan itu—Marni, ibu Amanda—mengikuti arah pandang Danu, kemudian menoleh padanya dengan ekspresi bingung. “Kenapa, Mas? Itu cuma lampu. Amanda bawa tadi malam katanya dari toko Mas.”
Danu menggeleng pelan, berusaha menutupi kegelisahannya. “Tidak, Bu. Saya cuma… heran. Biasanya lampu itu menyala.”
Marni menatapnya lebih lama, mungkin mencoba mencari maksud dari perkataan Danu. Namun ia akhirnya menghela napas dan berkata, “Di rumah ini gak ada listrik, Mas. Jadi lampu itu cuma jadi pajangan.”
Jawaban itu menusuk Danu seperti udara dingin. Tidak ada listrik. Lampu itu seharusnya tidak pernah menyala di tempat ini.
Matanya kembali tertuju pada lampu hijau itu, tetapi ia tidak bergerak, tidak berani menyentuhnya.
Di dalam diam yang menyesakkan, Danu hanya bisa bertanya-tanya: apakah ini akhir dari cahayanya, atau hanya awal dari sesuatu yang lebih gelap?
“Minum dulu, Mas,” kata perempuan itu—Marni—sambil menuangkan air ke dalam gelas dan menyerahkannya pada Danu.
Danu menerima gelas itu, namun pandangannya tetap tertuju pada lampu yang mati. Ada sesuatu yang tidak beres, sesuatu yang membuat udara di ruangan itu terasa lebih berat.
Marni duduk di tepi tempat tidur, menelan obat dari genggamannya. Setelah beberapa saat keheningan, ia akhirnya berkata, “Lampu itu… padam sekitar jam empat pagi tadi.”
Danu menoleh, matanya tajam menatap Marni.
“Padam?” tanyanya, suaranya pelan tetapi sarat dengan rasa penasaran.
Marni mengangguk perlahan. “Amanda tidur nyenyak sekali malam itu. Tapi saya…” Marni berhenti sejenak, seolah mencari kata-kata. “Saya terbangun tiba-tiba. Rasanya… gelisah. Seperti ada sesuatu yang menekan dada saya.”
Keheningan kembali memenuhi ruangan. Danu menatap lampu hijau itu dengan rasa gelisah yang tak bisa ia jelaskan. Ia tahu, di balik padamnya lampu itu, ada sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang baru saja dimulai.
Sementara itu, Marni menatap lampu hijau keemasan yang mati, suaranya bergetar ketika mulai berbicara kepada Danu. “Lampu itu padam pukul empat pagi tadi. Tapi sebelum mati, saya seperti… melihat sesuatu.”
Danu tidak menjawab, hanya memandang Marni dengan serius, menunggu kelanjutannya.
“Saya ingat, saya ada di sebuah rumah besar,” Marni melanjutkan. “Warnanya hijau tosca, indah sekali, mewah. Perabotannya berkilauan, tapi rasanya dingin. Hampa.”
Ia terdiam sebentar, matanya menatap ke arah meja kecil tempat lampu itu berdiri. “Di ruang makan, meja panjang penuh makanan. Tapi tidak ada aromanya, seolah-olah makanan itu tidak nyata. Saya melihat Amanda… dia makan sambil tertawa.”
Danu mengernyit. “Amanda?”
Marni mengangguk. “Dia memanggil, ‘Mama, aku mau disuapin.’ Tapi sebelum saya bisa menjawab, ada perempuan datang. Cantik, seperti sosialita. Dia membawa piring buah dan menyuapi Amanda dengan penuh kasih.”
Marni menggigit bibirnya, tatapannya kosong. “Saya bingung. Amanda tidak pernah memanggil saya ‘Mama.’ Dan perempuan itu… dia tidak melihat saya, seolah-olah saya tidak ada. Kemudian ada anak perempuan lain, mirip Amanda, berlari dengan boneka di tangannya. Mereka bermain bersama, tertawa… dan perempuan itu hanya tersenyum ke arah saya.”
Marni berhenti lagi, matanya berkaca-kaca. “Dia bilang, ‘Terima kasih,’ sambil menatap saya, sebelum semuanya hilang.”
“Lalu apa yang terjadi?” desak Danu, suaranya lebih pelan.