Tahun 1815. Langit Semarang tertutup mendung tebal, seolah memantulkan suasana hati Ki Sastrowidjojo yang tak menentu. Malam itu, ia berjalan terseok, menarik gerobaknya yang kosong. Sepanjang hari ia mencoba menjual lampu minyak, tetapi tak satu pun laku. Jalanan basah oleh hujan yang baru saja reda, membuat langkahnya terasa lebih berat.
Ki Sastro hidup tanpa cahaya, baik secara harfiah maupun metaforis. Hidupnya adalah sisa-sisa sebuah tragedi. Keluarganya dulu pernah dikenal sebagai penjaga rahasia besar, tetapi rahasia itu hilang bersamaan dengan kejatuhan keluarganya. Kini, ia hanyalah seorang penjual lampu keliling, bertahan dengan sisa-sisa harga diri yang hampir habis. Bayangan kegagalan seolah menghantui setiap langkahnya.
Ketika ia tiba di pasar yang hampir kosong, sesuatu menarik perhatiannya. Di sudut gelap pasar, di bawah lampu temaram, berdiri sebuah lapak kecil yang dijaga oleh seorang perempuan tua. Matanya tertuju pada Ki Sastro, seolah ia telah menunggu kedatangannya. Tanpa suara, ia mengangkat tangannya, memberi isyarat agar Ki Sastro mendekat.
Ki Sastro tidak tahu apa yang mendorongnya. Ia hanya mengikuti isyarat itu, mendekati lapak kecil yang penuh dengan barang-barang tak biasa: botol-botol kaca tua, kain dengan motif kuno, dan di tengahnya, sebuah lampu hijau keemasan. Lampu itu memancarkan cahaya yang lembut tetapi dingin, seperti napas terakhir lilin yang hampir padam.
“Ki Sastrowidjojo,” perempuan itu memanggilnya, meski ia belum pernah menyebutkan namanya. Suaranya berat, seperti berasal dari tempat yang jauh. “Apa yang kau cari dalam kegelapan ini?”
“Aku hanya ingin hidup,” jawab Ki Sastro dengan nada lelah. “Hanya itu.”
Perempuan itu tersenyum samar, matanya berbinar aneh di balik kerutan wajahnya. “Kegelapan akan selalu ada, tetapi kau bisa membawa cahaya. Cahaya yang bukan hanya untukmu, tetapi untuk mereka yang tersesat.”
Ia mendorong lampu hijau keemasan itu ke arah Ki Sastro. “Ambil ini. Tetapi ingat, ini bukan hanya sebuah lampu. Ini adalah amanat. Cahaya ini akan menuntunmu, tetapi juga akan membebanimu. Kau, dan keturunanmu.”
Bayangan dari Lampu
Malam itu, Ki Sastro membawa lampu hijau keemasan ke dalam kamar kecilnya. Ruangan itu nyaris kosong, hanya ada dipan kayu sederhana, meja kecil, dan sebuah lentera yang hampir kehabisan minyak. Ia meletakkan lampu itu di atas meja, menatapnya dengan penuh tanya. Apa sebenarnya benda ini? Kenapa perempuan tua itu begitu yakin bahwa ini adalah jawaban bagi hidupnya?
Ketika ia mencoba mematikan lentera, lampu hijau itu tiba-tiba menyala dengan sendirinya. Cahaya lembutnya memenuhi ruangan, tetapi ada sesuatu yang lebih dari sekadar cahaya. Bayangan-bayangan mulai terbentuk di dinding, bergerak seperti layar hidup.
Ki Sastro melihat sosok-sosok yang tampak familiar namun asing. Seorang pria berdiri di depan rak-rak penuh lampu, wajahnya penuh tekad. Ia mengenali pria itu sebagai kakek buyutnya, seorang penjaga rahasia besar yang sering disebut-sebut dalam cerita keluarganya. Namun bayangan itu segera berganti, menampilkan sebuah toko yang belum pernah ia lihat sebelumnya, dengan papan nama Cahaya yang tergantung di atas pintunya.