“Anggun.”
“Hadir, Pak.”
Suaraku keluar seperti napas terakhir dari hati yang kelelahan.
Nama itu meluncur dari bibirku, tapi tak pernah benar-benar kupeluk.
Anggun—bukan karena aku seanggun maknanya, tapi karena mamaku ingin aku menjadi sesuatu yang ia sendiri tak sempat menjadi.
Harapan yang dipaksakan hidup, meski sudah patah sejak ditanam.
Sekolah ini bukan istana.
Dindingnya berlumut, lantainya dingin, dan langit-langitnya bolong.
Tapi bagiku, tempat ini seperti rahim kedua yang menampung sunyi dan sisa tawa yang kupinjam dari orang lain.