“Anak haram.”
Kata-kata itu pernah kutemukan di pintu toilet sekolah.
Ditulis dengan spidol merah, seperti ingin menyiram luka yang sudah cukup dalam.
Mamaku terlalu muda, terlalu percaya, terlalu mencinta.
Lelaki itu memberinya langit, tapi tak memberinya atap.
Memberinya janji, tapi lupa menepati.
Dan saat tubuhnya mulai menampakkan benih, lelaki itu menghilang seperti bau hujan yang tak jadi turun.
Mamaku malu. Tapi lebih dari itu, ia lelah. Maka ia menyerah.