“Tuh, kan.
Ditolak lagi, Nton.
Udah nyerah aja.
Malu kali, ditolak mulu.”
Tawa meledak di belakangku. Seperti kembang api di siang bolong—tak menghibur, hanya memekakkan.
Lalu suara lain ikut bersarang, kali ini dari perempuan,
tajam dan menyengat seperti pisau dapur yang tak pernah diasah.
“Emang, Nton.
Mending sama aku aja.
Anggun mah belagu.