Subuh merayap diam-diam melalui celah jendela bambu, menyentuh lantai rumah kami yang dingin seperti tanah makam.
Suara adzan dari surau kecil di ujung gang berkumandang—lembut tapi tajam,
seperti rindu yang menetes dari langit.
Biasanya, suara itu menyentuh lembut dadaku, menyelimutiku dengan damai seperti selimut doa dari Bapak dan Ibuk.
Mereka selalu berkata:
“Jangan salahkan Tuhan, nduk.
Sekalipun hidupmu remuk,
tetaplah sujud. Tetaplah syukur.”
Aku tumbuh dalam pelukan mereka yang rapuh tapi hangat,
dalam rumah yang berdinding doa dan berlantai harapan.
Kami sering makan hanya sambal dan air mata, tapi selalu ada senyum yang diselipkan di sela lapar.
Aku percaya, hidup ini adalah rencana Tuhan—hingga pagi itu menyayatku dari arah yang tak terduga.
Jalanan yang Sama, Tapi Suasana Berbeda