“Minum dulu, nggun.
Capek kan?”
Ia menyodorkan botol air dengan senyum yang menyimpan bahaya.
Aku menolak.
Tapi dia memaksa.
Dan mungkin karena sopan santun bisa membunuh lebih cepat dari racun,
aku pun meneguknya.
Air itu dingin.
Tapi menyusup seperti setan. Beberapa detik kemudian, mataku kabur, tubuhku goyah.
Nafasku mulai kehilangan iramanya. Dan aku bersandar di punggungnya—
bukan karena percaya, tapi karena tubuhku tak sanggup melawan kehendak racun.
Tempat yang Tak Pantas Dikenang
Motor berhenti. Tapi bukan di sekolah. Bukan di pinggir jalan yang ramai.
Tapi di ujung sunyi yang tak punya nama.
“Anggun…