Aku tak tahu sudah berapa lama aku berjalan. Kakiku seperti bukan bagian dari tubuhku lagi—dan tubuhku?
Bukan rumah, melainkan penjara.
Aku melihat bayanganku di genangan air. Seorang gadis kusam, mata sembab, rambut liar, wajah penuh luka dan debu.
Itu bukan aku. Bukan Anggun, anak Bapak dan Ibuk yang dulu dikenal ramah dan bersih.
Itu adalah puing dari seseorang yang telah dibantai oleh pagi.
"Untuk apa nama, jika hanya menempel di tubuh yang kini jadi aib?"
"Untuk apa cita-cita, jika masa depan sudah diperkosa bersama subuh?"
Aku ingin menghapus keberadaanku.
Tapi untuk mati pun, aku terlalu pengecut.
Yang bisa kulakukan hanyalah berjalan— seperti orang hilang yang dicampakkan oleh dunia.
Suara yang Hampir Terlambat