Kebahagiaan yang tak Berujung

heikal irsyad
Chapter #2

B. SETITIK KESEJUKAN

Semakin lama aku menyendiri dan termenung membuatku semakin memikirkan semua lamaran pekerjaan yang telah aku kirimkan sejak tiga bulan lalu, mengapa masih belum ada tanggapan dari perusahaan mana pun. "Apakah surat lamaranku bermasalah, atau perusahaan sudah mendapatkan kandidat selain aku, atau aku yang tidak memenuhi syarat perusahaan itu untuk menjadi salah satu karyawan mereka?". Semua pertanyaan itu selalu muncul dan semakin membuatku mendekati titik dimana aku merasa tidak berdaya dalam hidup, namun semua itu perlahan memudar ketika kemudian telepon genggamku bordering. Setelah aku lihat itu merupakan sebuah panggilan dari kekasihku yaitu Rhisma, Ada apa ini?.

Sebenarnya pada saat itu aku sedikit enggan berbicara padanya, aku lebih mengharapkan kita berinteraksi melalu pesan singkat saja. karena dengan begitu dia tidak bisa mendengar nada bicaraku yang kurang bersemangat dan yang penuh dengan kesedihan akibat pertanyaanku terhadap surat lamaran pekerjaan yang telah ku kirimkan sejak tiga bulan lalu, sebisa mungkin aku menyembunyikan semua perasaan kecewaku dan perasaan tidak percaya diriku terhadap itu. Aku semakin menyadari satu hal lagi, semakin lama aku menganggur maka kepercayaan diriku terhadap apa yang telah aku lakukan semasa kuliah dulu akan semakin terkikis. Selama empat tahun menimba ilmu dibangku perkuliahan seakan tidak ada harganya ketika aku merasakan bahwa mencari pekerjaan sangatlah sulit meskipun kamu lulus tepat waktu dan berprestasi sepertiku ini.

Aku mencoba menghilangkan segala penyesalan dan segala rasa kecewaku untuk kemudian memulai interaksi dengan Kekasihku ini dengan mengangkat telepon darinya.

“Halo..?”

“Halo sayang.. lagi di mana dan lagi apa?'”

“Dirumah ini, mau mempersiapkan buat mengirimkan lamaran besok dan browsing lamaran baru. Ada apa?"

“Aku kangen sama kamu, kira-kira hari ini bisa ketemu tidak?”

Sudah aku duga pasti Rhisma menginginkan bertemu jika tiba-tiba telepon seperti ini, untuk berkomunikasi saja sebenarnya aku enggan apalagi untuk bertemu dan berkeliaran dengan siapapun disaat keadaanku yang seperti ini. karena menurut aku hal itu hanya buang-buang biaya buat pengangguran seperti aku yang justru butuh tempat untuk memperoleh biaya. Apakah aku harus menolaknya untuk bertemu atau menerimanya?, pertanyaan itu yang muncul seketika dalam pikiranku. Kami sudah pacaran lebih dari empat tahun terhitung sejak awal masuk perkuliahan dan sampai sekarang, dan kunci dalam kami menjalani hubungan yang terbilang langgeng ini adalah kami saling mendengarkan keinginan kita dari ke dua sisi. dan atas dasar itulah kemudian aku mencoba untuk memberikannya penjelasan mengenai keinginanku yang sebenarnya enggan untuk bertemu dengannya pada malam ini.

“Nggak dulu deh sayang..”

“Kenapa..?”

“Aku lagi malas sayang keluar, ngga ada uang juga untuk kesana-kemari..”

“Sama sekali ngga ada uang..?”

“Ada sih.. cuman kan ya buat besok aku keliling lagi ngirim lamaran..”

“Sebentar saja loh sayang, lagian kan kita sudah hampir tiga minggu nggak ketemuan..”

“Nggak dulu deh sayang, aku mohon.. aku saat ini sedang dalam kondisi tidak baik..”

“Hmm.. Baiklah kalau begitu, mungkin lain kali”.

Pembicaraan kami lewat telepon pun berakhir pada malam itu, dan kami berdua memutuskan untuk tidak bertemu terlebih dahulu. Namun entah kenapa setelah berakhirnya pembicaraan kami berdua pada saat itu, membuatku semakin memikirkan Kekasihku Rhisma yang sudah rela mengajak untuk bertemu namun aku tolak karena pikiranku sedang kacau mengenai semua usaha yang sedang aku lakukan demi mendapat pekerjaan dan sampai saat ini masih belum ada titik terang. Apakah aku salah menolaknya untuk bertemu, apakah aku hanya memikirkan diriku sendiri?. Mungkin saat ini kekasihku sedang sangat membutuhkan ku untuk menjadi pendorong semangatnya. Pertanyaan-pertanyaan itu semakin membuatku terganggu disamping pertanyaan mengenai surat lamaran pekerjaanku.

Aku mencoba untuk tidak terlalu memikirkan Rhisma dan tawarannya untuk bertemu di saat ini, hal itu aku lakukan dengan cara turun dan ikut melihat acara televisi bersama Ayahku. Aku langsung duduk di samping Ayaku yang saat itu sedang melihat berita televisi. Tiba-tiba ayahku menanyakan mengenai pembicaraanku.

Lihat selengkapnya