*****
“Left, left, Sir!!”
“Kiri, kiri, Bang! Ah, lu so’ Inggris banget!”
Sebiji angkot warna hijau yang bagian dalamnya sudah agak ringsek ditambah solasi lakban yang telah mendarah daging dengan tempat duduk busa langsung menepi tepat di depan sebuah mall yang ga begitu besar di tengah kota. Dua orang yang nampak aneh segera turun dari angkot tersebut. Sesuai dengan motto angkot, “naik gratis, turun bayar”, mereka berdua langsung menyerahkan sejumlah biaya transportasi angkot ke si supir.
Diiringi suara klakson dari mobil-mobil di belakang angkot dicampur musik dangdut yang diputar keras dalam angkot itu, setengah berlari keduanya masuk ke dalam mall yang sepertinya sepi pengunjung. Memang mall ini cukup besar, sekitar 24,3 m x 31,8 m (niat banget diitung segala), 3 lantai (belum termasuk basement), kios-kios dan outlet dari brand terkenal maupun yang ga terkenal mengisi kedalaman mall. Terlihat cuma 2-3 pengunjung hadir dalam satu kios/outlet, bahkan mungkin museum lama aja lebih banyak pengunjungnya. Si 2 orang aneh itu cari tangga berjalan, dan akhirnya ketemulah tangga dan mereka pun berjalan di atasnya, fuuuuh, benar-benar tangga berjalan.
Sambil lari setengah berjalan menuju lantai atas…
“Kampret tuh supir angkot! Udah mah ngetemnya lama…udah penuh juga, orang-orang masih pada dimasukin, dikira kita sarden kalengan kali!?”
“Itu mah biasa… yang bikin gua kesel, lagunya itu loh! Gua sendiri lagi dengerin lagu pake headset, terus di angkot lagunya keras banget, rasanya kayak ada perang saudara di kuping gua. By the way, lu ga mabok tadi di perjalanan?”
“Dikit sih… gua dah agak ga mabok lagi semenjak sering naek angkot.”
“Oh, sama! Dulu juga gua sering mabok…tapi gua dah ga mabok lagi semenjak berhenti minum vodka.”
“Ya elah, itu mah mabok beneran, bukan mabok perjalanan!”
Sambil keduanya bercakap-cakap ringan, mereka terus menaiki tangga berjalan sampai akhirnya ada di lantai paling atas mall tersebut. Baru di lantai inilah terlihat banyak orang bergelimpangan (emang mayat, bergelimpangan?). Ada yang lagi duduk nyantai di kedai kopi sambil ngobrol bareng temannya, ada yang lagi asik mainin gadget baru (baru beli bekas kelihatannya), ada pula yang cuman mondar-mandir kayak setrikaan, tapi yang paling bikin hati tersentuh adalah satu orang yang berinisiatif mengambil sampah berserakan di lantai mall, ow, luar biasa… oh, dia cleaning service, ya? Ok, emang kerjaannya gitu kali.
“Fuuh, untung ga telat,” ucap seorang pemuda aneh ber-headset sambil ngos-ngosan, “biasa kalau ke sekolah telat.”
“Tapi, kayaknya di sini kita yang paling aneh, deh,” seorang lagi pemuda aneh berkacamata sambil matanya celingak-celinguk mengelilingi seisi lantai atas mall.
Ya, semua orang di sana berpakaian rapi dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Gambaran umum orang-orang disana kurang lebih seperti ini; rambutnya klinis belah pinggir dan mengkilap kalau kena cahaya, rata-rata pakai kacamata dengan frame standar warna gelap, wajahnya mulus tak ada jerawat ataupun bolong-bolong seperti jalan di pinggiran kota yang udah lama ga dibenerin pemkot. Mengenakan kemeja putih bersih seperti di iklan deterjen, dan sebuah dasi yang melekat rapi di kerah kemejanya. Tak lupa jas hitam dan celana katun yang juga berwarna hitam ikut melekat di tubuhnya, sepatunya pun pantofel hitam, tapi kulitnya sih rata-rata putih. Kebanyakan warnanya hitam dan putih, udah kayak papan catur aja. Dengan dandanan seperti ini, bisa dipastikan mereka adalah para eksekutif muda, atau mungkin calon eksekutif muda, atau mungkin lagi orang yang ingin jadi eksekutif muda tapi ga kesampean, keburu tua.
Bandingkan dengan dandanan si 2 pemuda aneh. Yang satu berdandan casual dengan T-shirt slim fit berwarna merah dan celana jeans biru gelap selutut hasil rebutan di pasar loak. Sepatu yang ia gunakan adalah sneaker hitam dengan kaus kaki rendah. Dengan tas selempang berwarna krem yang sudah ‘the kill’ dan headset yang ia kalungkan di belakang lehernya, nampak orang ini agak nyeleneh.
Yang satunya lagi berdandan agak formal dengan kemeja putih yang belum disetrika dilapisi jaket casual berwarna merah marun. Kacamata dengan frame setengah berwarna hitam ikut melengkapi penampilannya. Untuk bagian bawah, ia pakai celana jeans biru muda yang kelihatan belum dicuci setengah tahun, dan kakinya ditutupi rapat oleh sepasang sneaker putih, belum dicuci setengah tahun pula (biasa cuci baju setengah tahun sekali ya?). Ga kalah ngaco dandanan nih orang. Ya udah lah, ga penting juga, lagipula penulis kan tugasnya nulis novel, bukan kritik fashion.
Krek…
Sebuah pintu besar yang terletak di lantai atas mall itu dibuka perlahan. Jika dilihat sekilas bagian dalamnya mirip ruangan bioskop, tapi bukan bioskop, hayo apa coba?
Teng tung teng tung…
“Pintu teater 1 susah dibuka… bagi para hadirin yang bisa buka, tolong bantuin… terima kasih ”
Seusai pintu itu terbuka lebar, seluruh orang yang mirip eksekutif muda itu masuk ke dalam, termasuk si dua orang aneh. Rupanya ruangan mirip bioskop itu adalah sebuah ballroom cukup besar yang menghabiskan separuh tempat di lantai atas mall itu dengan ratusan kursi seliweran menghadap sebuah panggung kecil di bagian depan ballroom tersebut. Big screen, sound system, dan AC pun sudah beroperasi. Si 2 orang aneh langsung mengambil tempat duduk paling belakang, sama kayak murid cowok yang pertama kali masuk ke kelas baru, padahal di depan masih kosong. Kurang lebih 15 menit kemudian…
“Selamat siang!! Salam sukses!!” seorang MC yang dandanannya ga beda jauh dengan para hadirin sekalian tiba-tiba naik ke atas panggung sambil berteriak kencang penuh semangat coba membangkitkan minat seluruh orang dalam ballroom, “apa kabar??”
“Dahsyat! Luar biasa!!” jawab para hadirin serempak dengan suara yang tak kalah kencang dari sang MC.
“Oke, sebelum kita mulai seminar ini, saya mau tanya,” ujar sang MC yang kelihatannya masih di usia awal 20an, “yang ada di belakang kedengaran engga?”
“Engga!!” si dua orang aneh yang emang duduknya paling belakang berteriak menjawab pertanyaan sang MC.
“Kalau engga, kenapa bisa jawab??”
Ya, ini adalah seminar pertama yang dihadiri si dua orang aneh yang belum diperkenalkan sampai halaman ini.
Satu, dua, hampir 3 jam semua orang dalam ballroom menyimak isi seminar dari sang narasumber yang merupakan seorang pengusaha sukses. Ada beberapa yang memang betul-betul serius mendengarkan isi seminar sampai matanya melotot tak berkedip, tapi ga sedikit juga yang malah matanya tertutup dan mendengkur. Bagaimana dengan dua orang aneh itu? Entahlah, penulis ga sempat memperhatikan mereka, karena penulis lebih serius ngikutin seminar… Ok, penulis ketiduran sebenernya.
Diiringi lagu ‘Chariots of Fire’ dari Vangelis, sampailah ke segmen terakhir…
“Baik, hadirin sekalian!” sang MC menutup seminar dengan sebuah cerita yang ia bawakan dengan heboh, tapi heboh sendiri, “sebagai penutup, saya ingin bercerita tentang sebuah kejadian nyata pada lomba atletik di Mexico tahun 1968… John Steven Aquari… ada yang pernah dengar nama itu?”
Para peserta seminar cuman bengong dan menggelengkan kepala.
“Siapa dia? Apakah dia adalah seorang agen gas elpiji? Atau dia seorang mantri sunat? Bukan keduanya…dia adalah seorang pelari marathon asal Tanzania. Ada yang tahu di mana itu Tanzania? Benar Anda tidak tahu? Masa’ sih? Saya sendiri ga tau sebenarnya. Yang pasti nama tersebut adalah nama yang paling menyita perhatian selama perhelatan olah raga itu. Semua berawal saat kompetisi cabang marathon dimulai. Seluruh peserta, termasuk John Steven mulai menggerakkan kakinya dengat cepat. Memulai lari dari dalam stadion, ratusan kontestan menuju keluar stadion menempuh jarak 42 km, sampai pada akhirnya mereka akan kembali ke stadion untuk menyentuh garis finish.
Sampai pertengahan lomba, ga ada hal aneh terjadi, saat itu yang ada di posisi paling depan adalah sang pelari asal Tanzania, John Steven Aquari. Akan tetapi, baru menempuh jarak setengah dari total 42 km, sesuatu mengerikan terjadi. Apa itu? Apakah hal yang mengerikan tersebut? Apa tiba-tiba muncul pocong ikutan marathon? Atau tiba-tiba muncul dosen killer nagih tugas kuliah? Bukan keduanya… hal yang mengerikan itu adalah…
GUBRAK, GUBRAK, GUBRAK!
John Steven jatuh, dan mengalami cedera parah hingga darah bercucuran dari kakinya! Sejenak ia terbaring tak berdaya di jalur lintasan berupa jalanan beraspal, tim medis pun segera datang menolongnya. Lukanya diobati, kaki kanannya pun diperban. Selagi ia diobati oleh tim medis, seluruh pelari sudah menyusulnya, dan sudah dipastikan John Steven kini ada di posisi paling buncit, sebuncit perut saya. Akan tetapi, suatu kejadian yang mencengangkan terjadi di sini! Apa itu? Apa tiba-tiba muncul Joko Tingkir menolong John Steven? Apa tiba-tiba muncul Batman nanya jalan? Bukan keduanya… tepat saat ia akan ditandu dan dibawa ke dalam ambulans, John Steven berkata, ‘ga usah, makasih, saya mau lari lagi.’
Dan John Steven pun kembali berlari, sambil terpincang-pincang! Para tim medis coba membujuk John Steven agar berhenti berlari, ‘sudah, sudah, cukup, hentikan semua ini, John!’. ‘Tidak, Marisol!’ Balas John Steven, sambil terus berlari tertatih-tatih. Tak bisa menghentikan tekad John Steven yang sudah bundar seperti topi saya untuk terus berlari, tim medis pun mundur. Coba bayangkan saudara-saudara, dengan kaki cedera parah, dan jalan terpincang-pincang, ia masih harus menempuh jarak 20 km lagi!
Seluruh peserta, kecuali John Steven, sudah kembali ke stadion dan menyentuh garis finish. Semua orang mengira kompetisi telah usai, banyak penonton yang sudah keluar stadion, panitia olimpiade pun sedang sibuk membereskan properti, sambil makan nasi bungkus. Namun, tiba-tiba masuklah John Steven sendirian ke dalam stadion sambil terus jalan pincang, semua orang di sana terheran-heran. Para penonton yang sudah siap keluar stadion pun terdiam dengan mata terbelalak lebar mengarah hanya pada satu sosok yang sedang berjuang di atas track. Suasana yang meriah dalam stadion sekejap berubah hening, semua orang yang tersisa diam terpaku dengan mulut yang menganga sambil berkata dalam hati, siapa orang itu? Kenapa dia terus berlari dengan kondisi seperti itu? Hemm… sungguh mencurigakan, Ferguso.