Kebelet Bisnis

Donny Barnesi
Chapter #3

Chapter 3 - Ordeal of the Oblivious Ones

“Left, left, Sir!” Seru Don dari dalam angkot.

“Kiri, kiri, Bang! Ah, lu so’ inggris banget sih!” Sam sirik aja, mentang-mentang ga bisa Bahasa Inggris.

Angkot hijau langganan Don dan Sam berhenti di pinggir sebuah jalan besar yang padat kendaraan. Turun dari angkot dan bayar, Don dan Sam yang baru menghadiri acara seminar berjalan masuk ke dalam sebuah gang kecil yang terletak tak jauh dari lokasi pendaratan keduanya dari angkot. Kendaraan seliweran kayak acara semut tawuran, gerobak pedagang pinggir jalan cukup banyak dipadati customer. Bangunan sekitar pun dipenuhi berbagai macam jenis usaha, dari jasa fotokopi, distro, makanan murah, sampai jersey bola kw super asal Thailand, harga bersaing, tapi ga bisa custom name. Loh, kok malah jadi kayak iklan ya?

Masuk ke dalam gang kecil yang tak bisa dilewati oleh mobil, apalagi jet pribadi, Don dan Sam terus berjalan cepat tanpa ada yang membuka percakapan. Hanya 2 menit berjalan, keduanya pun sampai di rumah Don atau biasa disebut Valhalla. Maaf pembaca, karena si Don pengen jaga privasi, dia ga ngejelasin di mana tepatnya dan seperti apa rupa rumahnya itu, yang pasti representatif untuk acara gathering.

Ckrek…

Don buka pintu rumahnya dan segera masuklah dua pemuda itu ke dalam.

“Gua ambil minum dulu,” Don pergi dulu ke dapur untuk mengambil sejumput air minum.

“Fuuuh… sampai juga,” sampai di lokasi gathering biasa di lantai atas Valhalla, Sam langsung merebahkan diri di atas sofa.

“Nih, mau cemilan,” sesampainya Don di lantai atas, ia bawa satu box kaleng biskuit branded.

“Asik, biskuit enak nih,” Sam langsung buka tutup kaleng biskuit itu, dan… “lah, kok isinya rangginang warung sebelah?”

Ya, luarnya box kaleng biskuit merk terkenal, tapi dalamnya rangginang yang biasa dibeli di warung seharga 5000an. Ibaratkan kalau orang, dandanan anak metal, pas liat kecoa, kabur. Ya, don’t judge a biskuit by its kaleng…

“Ngomong-ngomong soal impian yang dibangkitkan,” Don menatap kosong ke langit-langit rumah seraya kembali terbayang motivasi dan inspirasi yang sejam lalu disampaikan di seminar, “ingat impian kita pertama kali, Sam?”

Don masuk ke kamarnya dan membuka sebuah lemari dua pintu setinggi 2 meter. Sebuah kotak seukuran tas jinjing pekerja kantoran terlihat agak berdebu. Ia bersihkan sedikit kotoran yang hinggap di permukaannya, dan segera lah dibuka kotak itu. Nampak lembaran-lembaran kertas berjumlah ratusan terbengkalai beberapa lama, warna putih kertas pun sudah bertransformasi jadi agak kecoklatan. Pemuda itu membawa kotak berisi lembaran kertas tersebut ke ruang tengah lantai atas di mana temannya, Sam, sudah duduk menunggu sambil ngemilin rangginang, sembari pikirannya berkhayal sedang makan biskuit mahal…

“Kalau gua jadi editor penerbit besar,” satu persatu lembaran itu Don baca dengan teliti, “gua juga pasti ga minat nerbitin naskah novel ini… kita masih harus belajar banyak…”

“Iya…” Sam mengangguk, sembari menagmbil beberapa lembar naskah untuk dibaca, “dulu sih awal-awal kita bikin, kita pikir ini keren, tapi sekarang liat lagi kok ini novel jadi ga rame ya?”

“Bentar lagi Mugi Laris Kaizokudan ulang tahun ke-5…untuk ngerayain, gimana kalau kita buat ulang novel ini?”

“Hmm… good idea.”

Setelah percakapan itu, Don dan Sam beranjak ke bagian belakang rumah Don sambil membawa beberapa koran bekas (mau jual ke tukang loak, Mas?). Memang di bagian belakang rumah Don ada sebuah kebun tak bertuan seukuran lapangan tenis yang biasa dipakai untuk bakar sampah. Blak (ceritanya sound effect nyalain api)… dari koran-koran yang sudah kadaluarsa, Don dan Sam menyulut api unggun kecil. Tanpa segan… blush! 402 halaman naskah kertas A4, font Times New Roman 12 pt dengan spasi 1.5 itu mereka lemparkan begitu saja ke dalam kobaran api yang menjilat-jilat… kalau Anda penggemar setia serial anime/manga “One Piece”, pasti tau dong ‘heartbreaking moment’ pas kapal Going Merry dibakar? Ya, kurang lebih kejadiannya seperti itu… selamat tinggal, masa lalu!

Bintang-bintang mulai bermunculan di hari yang menggelap itu, bulan purnama pun sudah menunjukkan dirinya di horizon. Saat ratusan lembar naskah novel itu telah berubah menjadi abu dan terbang ditiup angin, keduanya langsung mematikan kobaran api menggunakan air yang diangkut pakai ember, soalnya kalau apinya dibiarin takutnya kebakaran, kalau kebakaran pasti mereka berdua kan yang disalahin, ribet lagi entar kan. Puas menyaksikan acara pengkremasian naskah, Don dan Sam balik lagi ke dalam rumah.

Ctet (ceritanya sound effect nyalain komputer)

Don sudah duduk siap di depan set komputer yang baru dinyalakan. Kesepuluh jari tangan Don pun mulai bergerak cepat memencet tombol-tombol keyboard.

Tak, tik, tuk, tak, tik, tuk…

Tak… tik… tuk…

Tak, tik, tuk… tak, tik, tuk…

“Emang lu bisa nulis novel, Don?” Suparmin mengernyitkan dahi, meragukan kemampuan sang kapten.

“Kalau ga dicoba, mana tau,” Don terus menggerakkan jari-jarinya, dan matanya melototin layar monitor komputernya tanpa berkedip.

“Itu baru namanya kapten!”

“Semangat! Kita buat novel best-seller!”

“Ngomong-ngomong lagi nulis apaan, Don?”

“Siapa yang lagi nulis, orang gua lagi maen game bola,” pantesan dari tadi si Don serius di depan komputer.

Tak terasa umur MLK sudah satu tahun. Komik yang dikerjakan separuh dari waktu itu dianggap gagal! Di tahun yang baru, 2006, MLK punya rencana baru, yaitu membuat novel. Sesuai pepatah, jika ingin sukses, kita harus berusaha dan berdoa. Don berusaha menulis novel, dan Sam berusaha membuat gambar ilustrasi, sementara keempat crew lainnya berdo’a. Apakah proyek mereka kali ini akan berhasil? Ataukah novel mereka akan mendapat celaan yang sama dengan komiknya? Jangan ke mana-mana, tetap baca novel ini…

Pada suatu hari Minggu tiba, gathering seperti biasa…

“Eh, kemaren gua bareng temen-temen,” ucap Don setengah berteriak semangat sambil mukul-mukul meja, “ke acara Japan Matsuri di salah satu mall terkenal. Ada event cosplay, seru banget!”

“Apaan tuh cosplay?” yang laen belum pada tau.

“Ya elah, lu ga tau!? Gua juga baru tau kemaren, sih,” Don sedikit menjelaskan, “kita pake kostum dari anime/manga/game gitu, terus perform on the stage.”

Don menunjukkan file-file di komputernya berupa foto dan video saat event Japan Matsuri itu berlangsung pada para crew. Semua ngumpul depan layar komputer sambil dengar penjelasan dari sang kapten (udah kayak guide di bus pariwisata). Tak hanya cosplay, band performance dan pagelaran budaya yang disuguhkan secara menarik mampu memancing anak muda dan pengunjung mall sekitar untuk mengikuti rangkaian acara itu.

“Seru tuh, kayaknya!” respon para crew MLK.

“Kita ikutan, yuk!” Don ajak yang lain cosplay.

Lihat selengkapnya