Langit yang cerah menyambutku bersamaan dengan suara kicauan burung yang sangat merdu. Awanpun seperti tersenyum menyambut kedatanganku ke desa ini. Ya, inilah yang aku inginkan. Pergi dari tempat yang penuh dengan keramaian serta hingar bingar dunia ke tempat yang sepi dimana banyak pepohonan yang hijau, sawah-sawah yang masih bertebaran dimana-mana dan rumah tetangga yang masih berjauhan.
"Akhirnya aku bisa beristirahat dengan tenang," gumamku dalam hati.
Aku memang sudah lelah dengan kehidupanku dikota. Bagaimana tidak, kekasih yang selama ini kucintai ternyata mengkhianatiku. Dia tega berselingkuh dengan orang yang kukenal. Aku tidak menyangka akan begini akhir kisah cintaku. Padahal kami sudah berencana menikah setelah lulus kuliah.
"Sevin, kamu yakin nih bakalan betah tinggal di desa ini? Kamu kan enggak pernah menginap di rumah nenek lebih dari dua hari." Sampai saat ayahku masih tidak percaya dengan keputusan yang baru saja kubuat.
"Tenang aja, Ayah, aku bakalan betah banget tinggal disini. Meskipun nggak ada tukang bakso yang lewat, tapi kan masakan nenek juga nggak kalah enaknya sama masakan di restoran," jawabku sambil memandangi hijaunya sawah-sawah disini. Meskipun jalanan disini terjal sampai-sampai mobil yang kami naiki bergoyang-goyang tanpa henti, tapi tak bisa kupungkiri bahwa pemandangan disini berbeda jauh dengan di kota.
"Yakin kamu? Ayah sih beneran nggak yakin sama ucapan kamu barusan. Ayah cuma takut kalau nanti kamu tersesat di pedesaan ini bagaimana? Kantor polisi juga jauh banget dari sini. Rumah tetangga jaraknya juga jauh-jauhan. Apalagi jalanan disini sepi banget kalau malam penerangannya minim," ujar ayah.
"Biarin dong, Yah. Sevin pasti baik-baik aja disini. Lagian Sevin disini juga nggak sendirian, ada nenek sama tantenya disini," ucap bunda yang sedari tadi diam dibelakang.
"Lagian Ayah lupa ya, Bunda kan dari bayi juga hidupnya di desa sini." lanjut bunda mengomeli ayah.
"Bukan gitu, Bun, kalau Bunda kan udah terbiasa hidup di desa yang tiap harinya sepi. Nah kalau Sevin, dari kecil udah biasa dengan keramaian di kota," terang Ayah. Ayahku memang orangnya terlalu sayang kepadaku, mungkin karena aku merupakan anak satu-satunya sehingga dia selalu khawatir dengan kehidupanku. Apalagi setelah aku memutuskan tinggal di desa, pasti ayah tidak tidur semalaman memikirkanku.
"Ayah tenang aja, aku bisa jaga diri kok. Lagian aku nginep disini kan cuma sementara nggak selamanya," tuturku menenangkan Ayahku.
Aku memandangi sekelilingku. Kulihat beberapa orang berjalan tidak mengenakan alas kaki padahal jalanan di desa ini masih bebatuan. Tak sengaja kulihat sebuah rumah yang sangat besar dikelilingi hamparan perkebunan yang sangat luas disisi kiri dan kanannya.
"Bun, itu rumah siapa, kok besar banget?" tanyaku penasaran.
"Bunda juga nggak tau ya, Sayang. Dari bunda kecil rumah itu nggak ada penghuninya. Dulu sih kata nenek kamu itu rumah keluarga Pak Pramadana. Tapi waktu itu mereka pindah ke luar kota. Nggak tahu lagi kalau sekarang rumah itu sudah ditempati atau belum. Kan kamu tahu bunda juga udah lama banget nggak ke rumah nenek," terang bunda.