Semua berakhir pada malam yang menggeliat mendekati fajar. Burung-burung merapatkan sayapnya di kerimbunan pohon, mendengarkan suara-suara yang hanya bisa dibuat oleh manusia. Kesunyian yang datang setelahnya membuat suasana menjadi lebih menakutkan. Binatang-binatang mulai keluar dari persembunyian, merasa aman. Tidak begitu pada manusia, otak di kepala mereka memberitahu untuk bersembunyi lebih lama, menunggu sampai fajar datang.
Desa itu remang-remang oleh cahaya bulan yang gemuk dan terang. Semua rumah bergeming, tanpa ada suara. Atap-atap yang kebanyakan terbuat dari genteng murahan menatap murung pada langit, sedangkan dinding-dinding bolong yang terbuat dari bambu, batu kapur putih, dan tripleks menjerit oleh gesekan angin.
Di salah satu rumah yang seperti kebanyakan rumah lainnya, meringkuk seorang manusia di bawah dipan, kepalanya berisi berbagai pertanyaan dan pemikiran, sedangkan tubuhnya sudah lelah karena terus terjaga serta kaget oleh kesunyian yang tiba-tiba datang. Sejak suara tembakan pertama terdengar, yang hanya bergerak dalam diri manusia itu hanyalah bibirnya: komat-kamit mengucapkan doa pada semua orang yang dikenal dan tidak dikenalnya, mengharapkan keselamatan.
Dia adalah seorang kepala sekolah.
Ya, dia mengajar dan membimbing delapan belas murid di sekolahnya (yang kebanyakan sering bolos). Dia terus-menerus mendoakan semua nama muridnya, berikut segelintir guru yang mengajar di sana. Dia berharap tidak ada korban (walaupun itu mustahil)—suara-suara tembakan itu menandakan pasti ada korban yang jatuh. Dan, yang jatuh pasti yang lemah—rakyat yang ditakuti negara.
Memang benar apa yang dipikirkan kepala sekolah itu karena dua hari kemudian orang-orang yang mengaku sebagai aparat dan tentara negara itu membuat laporan bahwa mereka telah menembak beberapa pemberontak di Desa Serren. Wajah ketua mereka dipampangkan di selembar koran dan layar televisi. Suara mereka terdengar gagah, gerak-gerik tubuh mereka menunjukkan mereka bangga karena telah membasmi beberapa pemberontak itu.
“Ya, semuanya kecoak dewasa yang membawa senjata. Kami tidak ingin menembak, tapi mereka membawa senjata, apa boleh buat.” Begitu yang dia katakan pada media massa ketika ditanya kebenaran. “Betul, hanya kecoak dewasa. Tidak perlu khawatir.”
Butuh beberapa hari bagi Si Kepala Sekolah untuk mendengar berita itu, memang sangat terlambat karena informasi dari luar desa begitu susah masuknya. Hal itu disebabkan Desa Serren adalah salah satu desa itu, yang terlupakan dan tersingkirkan dari segala perhatian negara, malah sering dianggap ancaman. Meskipun terlambat mendengar berita itu, Si Kepala Sekolah berniat bertindak.
Namun, Si Kepala Sekolah belum mengetahui berita itu (dan bahkan Si Ketua Tentara belum bicara apa-apa di media massa)—dia masih meringkuk di bawah dipan dengan jantung bertalu-talu dan harapan yang terus dilambungkan ke langit, meminta keselamatan.
Kesunyian yang datang setelah suara tembakan adalah kesunyian yang menaklukkan sisi kemanusiaan. Si Kepala Sekolah bisa saja keluar dari rumah untuk mengecek tetangganya, tetapi dia terlalu pengecut dan takut. Bisa saja kesunyian itu menelannya ke dalam gigi-gigi tajam penuh amarah.